Selasa, 18 September 2007

Refleksi interaksi gereja HKBP dengan budaya Batak dan Indonesia modern

Oleh: Pdt Daniel T.A. Harahap MTh
A. TIGA PILIHAN SIKAP
Dari perjalanan sejarah umat Allah, dalam PL atau PB, kita tahu sedikit-dikitnya ada 3 (tiga) pilihan sikap yang bisa diambil oleh gereja terhadap budaya atau masyarakat sekitar:

Pertama: larut atau inklusif. Gereja melakukan kompromi, adaptasi dan identifikasi total, menghilangkan semua identitas atau ciri khasnya untuk menjadi persis sama dengan budaya dan masyarakat sekitarnya. Batas-batas antara gereja dan budaya hilang sama sekali dan keduanya tidak bisa dibedakan. Sikap dan nilai yang dianut gereja ekuivalen atau sama-sebangun dengan apa yang dianut masyarakat sekitarnya. Memakai ungkapan bahasa Batak: eme na masak digagat ursa, aha na masa ba i na niula. Berhubung gereja melebur dengan budaya dan masyarakat maka praktis tidak ada ketegangan antara keduanya. Gereja hidup aman dan tenteram di tengah-tengah masyarakat sebagai bagian dari masyarakat. Dalam posisi ini gereja menjalankan fungsinya sebagai sub-ordinat atau perpanjangan tangan dari budaya atau kelompok masyarakat yang dominan, rejim yang sedang berkuasa atau kelompok ekonomi. Prinsip, nilai dan sikap gereja berubah-ubah sesuai dengan kondisi dan situasi masyarakat.



Kedua: sikap eksklusif. Disini gereja justru mengambil sikap sebaliknya, yaitu menutup dirinya rapat-rapat terhadap budaya dan masyarakat. Dengan alasan untuk menjaga kemurnian iman atau sangat sibuk menyongsong kedatangan Tuhan, gereja membangun kehidupannya bagai semacam pulau terasing, ghetto atau menara yang terpisah dari dunia. Kontak antara gereja dengan budaya dan masyarakat diminimalisasi. Gereja menjauhkan diri dari dan sama sekali tidak berminat terhadap persoalan-persoalan masyarakat dan budaya. Agenda gereja benar-benar berbeda dengan agenda masyarakat. Gereja mengambil jarak yang sangat jauh, mencurigai atau memusuhi budaya dan masyarakat, begitu juga sebaliknya. Konsekuensi logisnya ketegangan dan potensi konflik antara gereja dengan budaya pun sangat tinggi. Gereja dan budaya hidup dalam status quo atau semacam gencatan senjata.


Namun karena umumnya warga gereja sehari-hari hidup dalam masyarakat, dan tidak dapat melepaskan diri sepenuhnya dari dunia yang dianggap jahat dan kotor itu (kecuali dengan jalan membentuk kibbutz, biara, atau bunuh diri massal) maka akibatnya ada warga gereja praktis hidup di dalam dua dunia yang berbeda dan bermusuhan. Yaitu dunia masyarakat-budaya dan dunia gereja. Hari Minggu mereka seolah-olah di surga dan hari Senin sampai Sabtu mereka nyata-nyata di dunia.



Ketiga: sikap kritis dan dinamis. Pilihan ketiga bagi gereja adalah tidak larut namun tidak eksklusif, sebaliknya mengembangkan sikap kritis dan dinamis. Artinya gereja sadar betul bahwa ia hidup di dalam masyarakat dan budaya, bukan di ruang vakum dan juga belum di surga. Sebab itu gereja secara sengaja dan intensif berinteraksi dengan masyarakat dan budaya. Namun, gereja juga sadar bahwa ia memiliki tugas khusus dari Allah di dunia ini yang membuatnya tidak boleh persis serupa dengan dunia (Roma 12:2).





Gereja membangun hubungan yang sangat kritis dan dinamis dengan budaya. Gereja secara sadar membiarkan ketegangan antara keharusan menjadi sama dan atau harus berbeda dengan budaya. Jika gereja seratus persen sama dengan dunia maka gereja kehilangan identitasnya dan missinya. Sebaliknya jika gereja seratus persen berbeda dengan dunia maka gereja menjadi “orang asing” atau “musuh” budaya itu. Dalam ketegangan yang kreatif inilah gereja mengembangkan teologi hubungan gereja dengan budaya. Ia merefleksikan panggilan imannya dalam konteks budaya, sekaligus pada saat yang sama gereja Gereja berusaha untuk ikut menggarami dan menerangi budaya itu.




Jika diterapkan dalam kasus gereja HKBP (yang keanggotaannya mayoritas Batak) maka pertanyaannya adalah: bagaimanakah gereja-gereja tersebut dapat menghayati imannya dalam konteks budaya Batak yang masih “dianut” oleh anggota-anggota gereja itu? Hal-hal apakah dalam budaya Batak (terutama sekarang dan masa depan) yang harus digali dan dikembangkan oleh oleh gereja-gereja untuk merumuskan iman, ajaran, ibadah dan kesaksian, pelayanan dan kelembagaannya? Selanjutnya apakah yang dapat disumbangkan oleh gereja-gereja untuk memperkuat daya resistensi, daya survival, dan transformasi kehidupan budaya dan masyarakat Batak yang sedang menjadi bagian bangsa-negara Indonesia dan masyarakat global? Apakah yang membedakan gereja daripada persekutuan budaya?




B. PILIHAN SIKAP KRITIS

Berabad-abad lamanya suku bangsa Batak hidup terisolasi di Tanah Batak, daerah bergunung-gunung di pedalaman Sumatera Bagian Utara. Pada waktu yang ditentukanNya Allah mengirim hamba-hambaNya yaitu para missionaris dari Eropah untuk memperkenalkan INJIL itu kepada kakek-nenek (ompung) yang beragama Batak itu. Mereka pun menerima Tuhan Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruslamat. Mereka pun beriman kepada Allah tritunggal (Bapa, Anak dan Roh) dan tidak lagi menyembah dewa-dewa Batak dan roh-roh nenek moyang yang mati. Mereka berpindah dari gelap kepada terang, dari keterbelakangan kepada kemajuan, dari kematian kepada kehidupan.



Namun penerimaan kepada Kristus sebagai Tuhan dan Juruslamat itu tidaklah membuat warna kulit kakek-nenek kita berubah dari “sawo matang” menjadi “bule”, atau mengubah rambut mereka dari hitam menjadi pirang. Mereka tetap petani padi dan bukan gandum, memakan nasi dan bukan kentang, hidup di sekitar danau Toba dan bukan di tepi sungai Rhein. Penerimaan Kristus juga tidak mengubah status kebangsaan mereka dari Batak menjadi Jerman. Artinya setelah dibabtis dalam nama Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus kakek-nenek kita tetaplah tinggal sebagai orang Batak dan hidup sebagai masyarakat agraris sederhana. Para missionaris juga tidak berusaha mencabut kakek-nenek kita yang sudah Kristen itu dari kebatakannya dan kehidupan nyatanya. Buktinya mereka berusaha bersusah-payah menterjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Batak, mendorong mereka beribadah dalam Bahasa Batak (bukan Jerman atau Yahudi atau Yunani), membangun struktur gereja HKBP mengikuti peta budaya dan masyarakat Batak, dan membiarkan anggota HKBP tetap berpartisipasi dalam perayaan atau horja.


Sebagai Kristen rupanya kita tidak harus berbahasa atau berbudaya lain. Tidak ada budaya atau bahasa tertentu yang lebih unggul mengantar kita mendekat Kristus (Gal 3:28). Artinya tidak ada juga bahasa (budaya) yang menjadi kendala atau penghalang kita mendekati Kristus. Firman telah menjadi manusia sama dengan kita dan tinggal di antara kita (Yoh 1:14). Itu dapat diartikan bahwa Firman itu juga telah menjadi manusia Batak dan hidup diantara manusia Batak juga. Sebab itu tidak ada keragu-raguan bagi kita menyapa, memuji dan berdoa kepada Allah dengan bahasa dan budaya Batak. Mengapa? Sebab Kristus telah lebih dulu datang menyapa kita dengan bahasa Batak yang sangat kita pahami dan hayati.


Persoalan sesungguhnya adalah bagaimana hubungan antara iman dan budaya (batak) itu. Dalam Matius 5:13-16 Tuhan Yesus menyuruh orang Kristen untuk menggarami dan menerangi dunia. Itu artinya Tuhan Yesus menyuruh kita untuk mempengaruhi dan mewarnai realitas ekonomi, sosial, politik dan budaya yang ada. Karena itu sebagai orang Kristen kita tidak harus memusuhi atau menjauhkan diri dari budaya Batak, namun sebaliknya menggarami dan meneranginya dengan firman, kasih dan kebenaran.


Agar dapat menggarami dan menerangi budaya Batak itu tentu saja kita tidak dapat bersikap ekstrim: menolak atau menerima absolut. Kita sadar sebagai orang Kristen kita hanya mau tunduk sepenuhnya kepada Kristus. Sebaliknya kita juga sebagai kristen tidak boleh mengasingkan diri dari dunia (budaya). Lantas bagaimana? Disinilah pentingnya sikap kreatif dan kritis dalam membangun hubungan iman dan budaya itu. Mana yang baik dan mana yang buruk? Mana yang relevan dan mana yang tidak relevan? Mana yang harus dikembangkan dan mana yang harus diubah?






C. KAUM BATAK MISKIN KOTA: PARAMETER KESUNGGUHAN INTERAKSI HKBP DENGAN BUDAYA BATAK

Daripada sibuk membangga-banggakan (meratapi?) masa silam budaya dan masyarakat Batak itu mungkin jauh lebih baik kita memahami kondisi nyata dan mencoba memetakan masalah yang sedang dihadapi oleh budaya Batak itu. Menurut saya salah satu faktor yang harus diperhitungkan untuk merumuskan hubungan iman Kristen dan budaya Batak masa depan itu adalah soal kemiskinan Tapanuli dan orang-orang Batak miskin di kota.


Mungkin kita sepakat bahwa masyarakat yang menetap di Tapanuli masih sangat miskin dan terbelakang, dibanding saudara-saudaranya yang tinggal di kota. Untuk itu kita mungkin harus mengadakan penelitian sungguh-sungguh: apakah dampak kemiskinan di jantung Tapanuli itu bagi perubahan budaya Batak? Bagaimanakah konsepsi budaya Batak sendiri tentang kemiskinan? Selanjutnya: sejauhmanakah faktor kemiskinan itu mempengaruhi HKBP (termasuk konflik-nya)?


Jumlah orang Batak yang merantau ke kota-kota di luar Tapanuli sangat siginifikan. Sebagian dari mereka berhasil dan makmur. Namun sebagian besar “kalah” di tengah-tengah persaingan dan terlempar ke pinggiran kota sebagai masyarakat marjinal. Pengamatan saya, orang-orang Batak miskin kota ini tidak terjangkau oleh apa yang dinamakan “ritus budaya Batak” yang dicoba dijelmakan oleh lembaga-lembaga marga lewat ritus-ritus konsumtif di gedung-gedung maupun oleh HKBP lewat ritus-ritusnya. Banyaknya orang Batak-Kristen atau anggota HKBP yang miskin terlibat dalam kriminalitas memberikan isyarat kuat bahwa orang Batak miskin di kota ini benar-benar diluar jangkauan “punguan-punguan marga” Batak maupun HKBP. Karena itu jika kita ingin merumuskan hubungan gereja atau iman dan budaya Batak maka, pertanyaan yang utama yang mutlak harus kita gumuli: bagaimanakah sesungguhnya teologi kita terhadap kemiskinan Tapanuli dan komunitas orang Batak miskin di kota? Bagaimanakah konsepsi budaya Batak itu sendiri terhadap kemiskinan di Tapanuli maupun di kota-kota besar?


Menurut penulis HKBP ditantang untuk membangun teologi solidaritas dengan orang-orang miskin desa dan kota ini. Sebagai gereja Tuhan, dan sebagaimana diteladankan oleh Tuhan yang diimaninya, gereja HKBP harus setia hadir dan berada di tengah-tengah kemiskinan Tapanuli dan orang-orang Batak miskin di kota. HKBP dengan alasan apapun tidak bisa menutup mata dan telinga hatinya terhadap realitas politik-ekonomi ini yang menyebabkan kemiskinan warganya di Tapanuli maupun di kota-kota besar. Sebab itu bersama-sama dengan warganya yang miskin itu HKBP harus berjuang mengatasi kemiskinan itu dan membangun kehidupan yang lebih sejahtera dan manusiawi di dunia ini. Kesaksian, pelayanan, persekutuan, pendidikan dan ibadah HKBP karena itu juga sebagian harus diterjemahkan sebagai aksi dan refleksi orang-orang beriman agar bisa bebas dan keluar dari kemiskinan.



Lantas bagaimana dengan punguan-punguan marga atau parsahutaon Batak? Menurut penulis, juga sudah waktunya kita mendorong masyarakat Tapanuli dan komunitas-komunitas orang Batak miskin di kota untuk membangun persekutuan (punguan) dan organisasinya sendiri sebagai alat perjuangan untuk keluar dari kemiskinan dan ketidakadilan sosial tersebut. Punguan parsahutaon, wijk atau lungguk, atau organisasi orang Batak-Kristen di suatu wilayah atau lokasi tertentu, karena itu perlu didorong menjadi suatu organisasi masyarakat yang memiliki dampak perbaikan sosial. Begitu juga adalah tanggungjawab kita untuk mendorong para tukang tambal ban, supir dan kernet, pedagang asongan yang berasal dari Batak untuk mengorganisir dirinya dengan semangat keterbukaan dan persaudaraan dengan orang-orang miskin yang berasal dari suku atau agama lain. Itu artinya punguan-punguan marga juga ditantang untuk meninjau ulang agendanya, sehingga tidak larut dalam persoalan-persoalan remah atau tetek-bengek di sekitar ritus domestik (kelahiran, pernikahan, kematian), namun membuka hati dan pikiran kepada persoalan kemiskinan warganya. Sebagaimana pada jaman dahulu adat Batak mencakup penanaman padi, perang dan pasar, maka pada masa sekarang pun adat Batak harus mencakup ekonomi, sosial dan politik, dan bukan sekedar ritus domestik atau sekitar rumah tangga (kelahiran, pernikahan dan kematian).










D. MENCARI KATA-KATA KUNCI INTERAKSI INJIL, BUDAYA BATAK DAN MODERNITAS

Menurut penulis pergumulan kita di HKBP tentang Injil dan budaya Batak harus ditempatkan dalam konteks Indonesia dan modernitas (globalisasi). Pertanyaannya adalah: dapatkah kita pada saat yang sama Batak, Kristen, Indonesia dan moderen sekaligus? Dapatkah kita menjadi 100% Batak, 100% Kristen, 100% Indonesia dan 100% moderen? Pertanyaan ini menantang kita untuk menggali nilai-nilai apa yang sesuai dengan kebatakan, kekristenan, keindonesiaan dan kemodernan kita. Menurut penulis minimal ada 4 (empat) nilai yang sangat penting, yang sesuai dengan ke-empat konteks itu





1. DESENTRALISASI (MARSERAK, MANOSOR, MANJAE, MAMULIK)

Salah satu tema yang kerap kali dibanggakan oleh mereka yang menyebut dirinya “pengetua” adat Batak adalah konsepsi hasadaon (kesatuan) dalam budaya Batak. Begitu banyak umpama dan umpasa yang menyinggung soal indahnya hasadaon ini. Misalnya: aek godang aek laut, dos ni roha umbahen na saut, masiamin-aminan songon lampak ni gaol masitungkol-tungkolan songon suhat di robean, rap mangangkat tu ginjang rap manimbung tu toru, hata mamunjung hata lalaen hata natorop sabungan ni hata. Namun kita harus kritis memahami umpama ini agar tidak terkecoh. Pada hakikatnya budaya Batak justru sangat desentralistis (memiliki banyak pusat atau sentrum), sentrifugal (bergerak menjauhi pusat), bahkan mungkin lebih tepat disebut sporadis (membelah, memecah menjadi banyak). Itu nampak dalam penghayatan orang Batak tentang kampung huta atau lumban yang sangat independen dan otonom. Seperti sering dikatakan, tiap kampung Batak adalah bagaikan republik sendiri. Jika kampung semakin besar maka akan memecah atau membelah lagi melalui proses manjaemanosor (membuka kampung yang baru) atau mamulik (memisahkan diri). Oleh sebab itu orang Batak (setidaknya sampai terbentuknya HKBP (?) atau negara kesatuan RI) tidak pernah menghayati suatu pemerintahan pusat yang menguasai seluruh dimensi kehidupan rakyat.


Apa hubungannya dengan gereja HKBP? Kita dapat belajar bahwa membangun suatu gereja HKBP (beranggotakan orang Batak) yang sangat sentralistis dan hirarkis adalah sangat bertentangan dengan budaya Batak yang cenderung desentralistis, sentrifugal atau sporadis ini. HKBP sebaliknya mungkin lebih cocok dibangun dengan semangat asosiasi atau federasi (perserikatan).


Pola pengembangan jemaat-jemaat dan ressort-ressort HKBP ini sangat mirip dengan pola pengembangan kampung atau huta Batak. Tiap jemaat atau ressort selalu mengalami proses membelah dan memecah, baik dikarenakan jumlah anggota yang semakin banyak, atau disebabkan konflik, atau keinginan untuk mandiri (manjae). Konsepsi kesatuan HKBP itu juga, menurut penulis, mirip benar dengan pola kesatuan kampung-kampung atau marga-marga Batak. Sebagaimana kampung dan marga Batak otonom dan hanya diikat oleh nilai-nilai religi yang sama dan ikatan-ikatan kekerabatan dan perjanjian, sebenarnya pada kenyataannya jemaat-jemaat dan ressort-ressort HKBP itu juga otonom dan hanya diikat oleh nilai yang sama (cinta HKBP?). Kekuasaan Kantor Pusat atau Pearaja pada prakteknya atau de facto sangat terbatas kepada jemaat-jemaat dan ressort-ressort. Selain menetapkan Almanak, Buku Ende, mutasi pendeta, dan menentukan persembahan ke pusat, praktis Kantor Pusat tidak bisa berbuat banyak mengintervensi kehidupan jemaat-jemaat atau ressort-ressort. Otonomi jemaat dan resort ini nampak jelas dalam hal keuangan. Hampir tidak ada jemaat atau resort yang tergantung secara finansial kepada Pusat. Boleh dikatakan tidak ada jemaat HKBP yang membangun gedung gerejanya dengan bantuan uang Kantor Pusat. Sebab itu pemeriksaan keuangan oleh Pusat dan Distrik kepada jemaat-jemaat selalu menimbulkan sinisme atau ejekan di kalangan Majelis (Parhalado) lokal: ai sasintongna hami do na ingkon mamareso hamu (sebenarnya kamilah yang harus memeriksa Anda). Mengapa? Karena jemaat atau resort tidak pernah dibantu pusat soal keuangan, lantas apakah dasar legitimasinya untuk memeriksa? Sebaliknya, uang pusat justru berasal dari jemaat, dan logikanya jemaat-lah yang harus memeriksa pusat (menerima laporan dari pusat).


Bukti ampuh desentrasi jemaat-jemaat HKBP ini nampak jelas ketika terjadi konflik HKBP yang terakhir. Walaupun Kantor Pusat lumpuh namun 3000-an gereja atau jemaat HKBP yang tersebar di seluruh Indonesia justru tetap eksis dan melangsungkan ibadah dan kegiatannya! Itu merupakan bukti yang sangat kuat bahwa sebenarnya HKBP sebenarnya tidak memiliki satu pusat (sentralistis) namun banyak pusat (desentralistis). Kekuatan HKBP tidaklah di Kantor Pearaja namun tersebar di seluruh jemaat dan ressort. Selanjutnya kita melihat dalam pengalaman konflik yang terjadi di jemaat-jemaat lokal hanya dapat diselesaikan di dan oleh jemaat yang bersangkutan, dan justru jarang berhasil dengan intervensi Kantor Pusat. Dan menarik untuk diamati bahwa penyelesaian konflik di jemaat lokal cenderung dengan pola membelah atau memecah.





Pola desentralisasi (manjae, manosor, mamulik) ini juga nampak dalam perhimpunan-perhimpunan kekerabatan Batak. Tiap-tiap punguan marga (bahkan cabang marga atau par-saompu-on) atau parsahutaon merupakan perhimpunan independen dan otonom. Punguan-punguan ini benar-benar mandiri dan tidak memiliki ikatan satu sama lain kecuali nilai-nilai kebatakan (habatahon) dan kekristenan (hakristenon) yang sama. Karena itu kita dapat menyaksikan banyak usaha untuk mempersatukan semua marga dan komunitas ini dalam suatu kelembagaan mengalami kegagalan. Begitu juga usaha untuk melakukan pembakuan atau formalisasi adat yang berlaku bagi semua marga atau komunitas Batak mengalami nasib yang sama. Mengapa? Karena budaya Batak pada hakikatnya memang melawan tiap usaha sentralisasi, akumulasi atau penyeragaman.



Sebagaimana sudah disinggung di atas masyarakat dan budaya Batak tidak memiliki satu pusat kekuasan yang dapat mengendalikan segala-galanya. Tiap marga, luat, kampung, huta, punguan adalah otonom. Dalam adat pun tidak ada yang baku dan berlaku bagi semua. Tidak ada aturan yang berlaku di semua tempat dan waktu. Aturan sangat tergantung kondisi setempat atau sesaat dan kesepakatan pihak-pihak yang terlibat. Sebab itu setiap kali aturan harus diteguhkan kembali melalui perundungan dan kesepakatan yang baru. Itu artinya banyak atau semua hal mesti dinegosiasikan atau dirundingkan bersama. Dengan kata lain budaya Batak dibangun di atas proses negosiasi atau perundingan yang terus-menerus ini. Kita saksikan orang Batak justru sangat menghargai budaya berunding dan bersidang (manghatai) ini. Tiap lembaga atau kelompok yang bekerja di tengah-tengah masyarakat Batak termasuk HKBP harus mengetahui persis budaya negosiasi ini jika ingin berhasil. Dalam kehidupan ber-gereja pun pendeta atau majelis tidak dapat begitu saja memaksakan programnya tanpa melalui rapat atau percakapan bersama. Karena itu kita lihat banyak program gereja atau lembaga adat yang gagal karena tidak lebih dulu dibicarakan bersama dengan pihak-pihak yang terlibat. Ingkon jolo diseat hata asa diseat raut!


Otonomi dan independensi unit-unit ini merupakan kekuatan HKBP yang luar biasa untuk survive di tengah-tengah krisis dan untuk melangkah ke masa depan. Inilah yang membuat HKBP dan bangsa Batak sulit ditaklukkan atau didikte pihak-pihak luar. Tidak ada satu orang elit atau kelompok pun yang bisa menguasai HKBP dan atau orang Batak secara keseluruhan!





2. PARTISIPASI (PARSIDOHOTON, PARJAMBARAN & PARTOHONAN)

Selanjutnya kita melihat bahwa budaya Batak sangat menjunjung tinggi partisipasi. Dalam acara adat semua orang dihargai sebagai peserta penuh (parsidohot), bahkan sebagai raja-raja dan pemegang jabatan (partohonan), memiliki hak dan kewajiban atau tohonan, pemilik hak dan bagian (parjambar: hata, juhut, ulaon). Sebab itu mereka sangat senang dan menikmati upacara itu walaupun memakan waktu berjam-jam dan biaya banyak. Menurut penulis kata kunci dalam budaya Batak adalah: parsidohot (peserta, partisipan), partohonan (pemegang jabatan) dan parjambar (penerima hak atau bagian). Dimana orang Batak menghayati dirinya sebagai parsidohot, partohonan dan parjambar maka dia akan melakukan tugas dan tanggungjawabnya sebaik-baiknya dan rela berkorban sebesar-besarnya untuk itu. Sebaliknya orang Batak akan merasa kecil hati atau bahkan tersinggung jika hanya disuruh menonton, mendengar atau menerima secara pasip.





Bagaimanakah jika hal ini kita hubungkan dengan HKBP? Keadaan sangat berbeda. Coba kita lihat liturgi gereja-gereja kita: Peran dan posisi utama dipegang oleh segelintir parhalado (seumur hidup) dan lebih kecil lagi oleh seorang pendeta. Anggota HKBP yang adalah 99% persen Batak (lahir batin) ini praktis hanya diundang sebagai penonton dan pendengar, paling maksimal diberikan peran pembantu. Sebab itu wajar jika bawah sadar jiwa mereka berontak. Akibatnya ada dua: Pertama mereka akan malas ke gereja dan mencari kelompok-kelompok keagamaan dimana mereka benar-benar sebagai parsidohot, partohonan dan parjambar (bukan kebetulan jika di gerakan kharismatik pentolannya banyak sekali orang Batak) atau berusaha membuat ulah di gerejanya sendiri mencari posisi. Kita dapat mengambil contoh yang sangat sederhana. Warga jemaat yang kebetulan memiliki peran dan kedudukan di HKBP (dirigen, ketua panitia pembangunan, ketua punguan ina/ ama) cenderung bertahan dan tidak mau meninggalkan HKBP bagaimanapun sulitnya keadaan. Sebaliknya warga jemaat yang tidak memiliki peran dan kedudukan di HKBP sangat mudah meninggalkan HKBP. Karena itu menurut penulis banyaknya warga HKBP yang “lari” dari HKBP dan aktiv di gereja-gereja dan persekutuan-persekutuan lain harus dimengerti dalam konteks budaya ini. Mereka ingin memiliki peran dan kedudukan dalam gerejanya, dan tidak suka jika hanya jadi penonton.





Sebab itu menurut saya kita harus mengubah liturgi HKBP agar lebih partisipatip. Sebab dalam budaya Batak sangat sulit diterima (entah apapun alasannya) ada satu orang yang berbicara terus-menerus dan semua yang lain harus diam dan mendengar. Yang ideal semua orang harus memiliki peran (ulaon) dan bagian (jambar). Karena itu kita harus menyusun rangkaian tata ibadah atau liturgi yang sangat partisipatip dan mengundang keterlibatan penuh anggota jemaat. Salah satu contohnya adalah menambah jumlah dan selalu merotasi orang (pelayan dan anggota) yang bertugas dalam ibadah, dan menghindari dominasi oleh satu atau beberapa orang saja. Contoh: Selama ini pemimpin liturgi (mar-agenda) di HKBP adalah satu orang sintua (pada saat tertentu pendeta). Karena faktor-faktor khusus (antara lain penghormatan) pemimpin liturgi pada saat pesta Natal atau Paskah selalu diberikan kepada sintua tertentu (terbaik, terkaya, terpintar, terkuat dll). Akibatnya sering terjadi selama puluhan tahun menjadi parhalado seorang sintua tidak pernah sama sekali memimpin ibadah natal atau paskah. Padahal di bawah sadar para penatua yang lain umumnya ingin juga berperan dalam ibadah natal dan paskah itu. Karena itu menurut penulis ibadah HKBP baik jika dilayani oleh tiga atau lima orang penatua sekaligus. Selain memberikan kesempatan berpartisipasi kepada sebanyak-banyaknya orang, ibadah yang dilayani oleh banyak orang ini mencerminkan representasi atau kehadiran seluruh jemaat. Sebab dalam even Batak yang sangat menekankan kebersamaan, seseorang berpidato sendirian di depan publik dapat menimbulkan kesan arogan. Karena itu dia harus selalu mengajak sanak-saudaranya menemaninya.


Ritus Batak tidak berpusat kepada satu orang tokoh namun kepada persekutuan. Orientasi atau sentrum ruang Batak adalah pelataran luas (alaman) rakyat dan bukan panggung kecil elit. Sebab itu dalam even budaya Batak semua orang selalu duduk berkeliling (mangaliat) dan berhadap-hadapan (masiadopan). Pusat ruang pesta pernikahan Batak bukanlah panggung kursi pengantin di depan, namun meja para perunding (parhata) di tengah-tengah. Tari (tortor) Batak dilakukan di tengah-tengah ruangan dan bukan di depan. Sebab itu sewaktu menari (manortor) orang Batak lebih dulu menyembah berputar 360 derajad dan bergerak berkeliling (mangaliat). Itu adalah simbol orientasi ritus yang menunjukkan kebersamaan dan persekutuan.


Hal ini menyadarkan kita bahwa arsitektur gereja HKBP secara umum kurang mengakomodasi tuntutan budaya Batak ini. Sebagai contoh susunan kursi gereja yang searah (model bioskop, teater) harus diubah menjadi model persidangan (huruf U, melingkar atau berhadap-hadapan) agar lebih partisipatip dan melibatkan sehingga anggota jemaat tidak merasa sekedar penonton atau pendengar pasip. Dalam membangun gedung gereja HKBP yang penting bukanlah meniru bentuk luar rumah Batak, atau sekedar memberi tempelan asesoris bernuansa Batak, namun bagaimana mewujudkan tata ruang yang sesuai dengan jiwa Batak yang sangat menjunjung partisipasi, kebersamaan dan persekutuan itu.





3. KESETARAAN ATAU EGALITER (HADOSAN)

Selanjutnya kita tahu masyarakat Batak sangat egaliter atau menekankan kesetaraan. Dengan masuknya kekristenan yang menghabisi perhambaan, praktis semua orang Batak laki-laki merasa dirinya sebagai raja dan keturunan raja. Menarik juga bahwa seluruh elemen kekerabatan Batak yang lazim disebut dalihan na tolu (dongan sabutuha, boru dan hula-hula) dan paopat sihal-sihal (ale-ale) selalu disebut dengan kata sandang Raja. Perempuan Batak dipanggil sebagai boru ni raja (puteri raja) atau sebutan terhormat inanta soripada (walaupun kiita harus mengkritisi sejauhmana penghormatan kepada perempuan ini dalam praktek). Yang hendak kita katakan adalah sistem dalihan na tolu ini terus-menerus mendorong sirkulasi peran dan jabatan. Tidak mungkin seseorang terus-menerus menjadi hula-hula atau menduduki tempat terhormat. Peran dan jabatan selalu berganti, tergantung tempat dan situasi. Sirkulasi peran dan jabatan yang terus-menerus ini semakin mengekalkan perasaan egalitarianisme atau kesetaraan (hadosan) dalam masyarakat Batak. Memang diakui, karena kekayaannya atau ketuaannya seorang boru sangat dihormati, namun bagaimanapun juga ia tetap dalam posisi yang harus menghormat hula-hula-nya.


Apa hubungannya dengan gereja? Sistem gereja HKBP yang memungkinkan seseorang seumur hidup berperan atau menjabat parhalado (majelis) sebenarnya ganjil atau kurang memiliki legitimasi dalam budaya Batak. Masyarakat egaliter Batak menghayati sirkulasi peran dan jabatan. Hari ini hula-hula besok boru lusa dongan sabutuha, begitulah silih-berganti. Peran dan jabatan lain dalam budaya Batak juga selalu berganti. Sihunti ampang dan sijalo upa tulang juga selalu berganti di kalangan yang bersaudara. Namun dalam haparhaladoon HKBP justru prinsip sirkulasi peran dan jabatan itu tidak terjadi. Karena itu, menurut saya, salah satu bentuk terpenting demokratisasi atau “kontekstualisasi Batak” dalam HKBP adalah pemberlakukan periodesasi parhalado. Dengan periodesasi parhalado kita dapat mengakomodasi tuntutan-tuntutan yang sangat penting dalam budaya Batak (dan sekaligus organisasi moderen), yaitu: sirkulasi peran dan jabatan, mekanisme check and ballance, reward and punishment, prinsip kesetaraan di depan hukum, keadilan dan kompetisi adil dan bebas.


Dari segi arsitektur, angota jemaat HKBP di bawah sadar akan sulit menerima kenyataan ada sekelompok orang (baca: parhalado) jaman sekarang yang seumur hidup duduk di balkon atau di kursi terhormat dalam gereja. (dulu di Tanah Batak parhalado tidak punya tempat duduk, berdiri berdiri di pintu!). Apalagi jika lantai tempat duduk parhalado dibuat jauh lebih tinggi dari lantai tempat duduk jemaat. Mimbar kotbah yang lebih rendah dan kotbah yang pendek justru akan mengundang simpati anggota jemaat yang berbudaya Batak. Karena itu penulis mengusulkan agar di masa depan kita menata ruang yang mendukung prinisip kesetaraan (hadosan) ini. Mungkin susunan kursi setengah melingkar, altar di tengah, mimbar kotbah yang rendah adalah jawabannya.


Tuntutan anggota jemaat untuk berpartisipasi dan memiliki kedudukan yang sama dalam HKBP ini tidak hanya dalam ibadah Minggu atau khusus, namun dalam seluruh kehidupan berjemaat HKBP, termasuk proses pengambilan keputusan. Sebab itu jika kita ingin anggota jemaat itu betah di HKBP maka tak bisa tidak kita harus memberikan kepada mereka peran dan kedudukan ini, termasuk dalam rapat-rapat pengambilan keputusan. Salah satu yang mungkin dapat kita lakukan sebelum periodesasi sintua, adalah dengan melakukan periodesasi semua unit pelayanan HKBP termasuk guru Sekolah Minggu, pelatih dan dirijen koor dan lain-lain. Selain itu menurut penulis HKBP baik jika mengangkat utusan resmi anggota jemaat (pengurus atau perwakilan weik-weik) menjadi majelis yang tidak ditahbiskan (parhalado na so partohonan).





3. TRANSPARANSI (HAPATARAN)

Lama sekali saya baru dapat bersimpati dan memahami apakah makna lelang dalam gereja-gereja batak. Bagi saya dahulu mengumpulkan uang bagi gereja dengan lelang (lebih halus mengumumkan nama penyumbang secara terang-terangan) adalah bentuk arogansi Batak yang jauh dari kekristenan. Namun setelah lama mengadakan refleksi saya baru sadar bahwa lelang terbuka dalam gereja itu hanyalah salah satu ungkapan keterus-terangan Batak. Tedek songon indahan di balanga do Batak i. (Memang diakui dalam lelang juga sarat dengan unsur kompetisi yang juga sangat dihayati kultur Batak). Sementara itu gereja-gereja Batak justru seringkali dikelola dengan semangat yang berbeda dengan keterus-terangan atau transparansi ini. Rapat-rapat parhalado atau rapat pendeta sering merupakan “rapat rahasia”. Isu-isu teologia (kadang tidak bisa dijawab oleh kami pendeta) disembunyikan dengan alasan bahwa hal itu merupakan misteri Ilahi (hahomion). Laporan keuangan sering cuma mencantumkan pemasukan dan tidak (cukup) menjelaskan pengeluaran. Mekanisme pemilihan anggota komisi, panitia, dewan dan seksi sering tidak transparan sehingga memungkinkan sekali terjadinya nepotisme. Bagi masyarakat Batak di bawah sadarnya ketertutupan itu bukan saja sesuatu hal yang tidak simpatik namun juga mengundang rasa curiga terhadap adanya usaha kolusi (partuptupan) atau bisik-bisik atau main-mata (marmihim-mihim). Bukankah kata “tangkas”,“patar”, “tarida” (jelas, nyata) sangat bermakna positip dalam budaya kita dan juga iman kristiani dan era moderen? Sementara kata “buni” (tersembunyi), “semo” (kabur), “huphup” (tertutup) berkonotasi negatip?



Budaya transaparansi (hapataran) ini justru sangat sesuai dengan iman kristiani. Selanjutnya transparansi itu juga menjadi tuntutan masyarakat moderen. Karena itu dengan membangun HKBP dengan semangat transparansi (hapataran) kita sangat kristiani dan moderen.



4. KOMPETISI (MARSIADU, MARLUMBA)

Selanjutnya, sebagaimana kita tahu budaya Batak sangat dekat dengan kompetisi atau persaingan (yang harus diakui sebagian mengarah kepada konflik). Orang Batak di bawah sadarnya menghayati kehidupan bagaikan perlombaan atau pertandingan, dan dia menginginkan kemenangan (kadang dengan menempuh segala cara). Sikap hidup teal, elat, late bila dilihat lebih positip adalah bentuk kompetisi atau persaingan yang tidak benar. Namun pada saat yang sama gereja-gereja kita gagal atau mengabaikan kultur kompetisi ini. Sebagian dikarenakan pengaruh budaya harmoni Orde Baru dan sebagian karena salah menafsirkan konsepsi kebersamaan dan persatuan dalam Alkitab yang membuat seakan-akan kompetisi itu sesuatu yang kurang kristiani atau menjurus kepada dosa. Karena gereja – termasuk dalam kotbah pendeta-pendeta – hampir tidak pernah mengajarkan warganya untuk rela dan trampil berkompetisi akibatnya warga gereja kita menganggap kompetisi sebagai konflik atau sikap hidup menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan.





Jika kita tahu bahwa semangat kompetisi itu mempunyai tempat dalam iman Kristen, sejalan dengan era moderen yang menghendaki persaiangan bebas, dan meningkatkan “adrenalin” orang Batak, maka tugas gereja tinggal mengajarkan warganya bagaimana harus berkompetisi secara benar atau kristiani, berkompetisi secara adil dan damai, dan berkompetisi dalam semangat persaudaraan (seperti semangat ateletik dalam olimpiade: lebih tinggi, lebih cepat, lebih jauh!) untuk mengejar kemajuan dan kualitas.



PERTANYAAN DISKUSI

1. Hal-hal apa sajakah yang harus diubah dan dibaharui oleh HKBP untuk membantu masyarakat Batak (yang sedang menjadi Indonesia dan global-moderen) itu menghayati iman Kristennya? Secara khusus hal-hala apa saja yang harus diubah dalam HKBP agar membantu masyarakat Batak yang miskin?

2. Adakah budaya Batak yang dikembangkan sekarang cukup kondusif bagi kehidupan demokrasi? Bisakah dijelaskan? Adakah “pengalaman demokrasi” Batak yang sempat hilang dan harus ditemukan lagi, tentang bius sebagai persekutuan antar marga/kampung misalnya? Bagaimanakah pengaruh depolitisasi budaya dan masyarakat Batak selama 30 tahun terakhir?

3. Jika direnungkan dalam-dalam manakah yang lebih benar: desintegrasi dalam budaya Batak telah memacu konflik dalam gereja-gereja atau sebaliknya konflik gereja telah mengakibatkan desintegrasi budaya Batak?

(disusun pertama kali untuk persiapan Pesta Gondang HKBP Jatiwaringin tahun 2001)

Baca lagi..

DEBATA????

Tuhan melarang penyembahan kepada ilah-ilah asing [Keluaran 20 ayat 3-5]. Penyembahan kepada ilah-ilah asing merupakan perzinahan rohani yang menduakan Tuhan [Imamat 20 ayat 6]. Siapakah yang termasuk ilah-ilah asing? Ilah-ilah asing adalah ilah, tuhan sembahan bangsa-bangsa [1 Tawarikh 16 ayat 26].

Hanya Tuhan yang telah datang sendiri ke dunia ini, Tuhan kita YESUS KRISTUS, sebagai satu-satunya TUHAN pencipta alam semesta yang patut disembah oleh seluruh ciptaan-Nya.

Ilahnya orang di tanah kanaan yaitu ilahnya orang Amori, ilahnya orang Het, ilahnya orang Feris, ilahnya orang Kanaan, ilahnya orang Hewi, dan ilahnya orang Yebus adalah berhala. Alkitab mencatat dari berbagai suku bangsa mengenal dan menyembah ilah atau tuhan lokal. Perhatikanlah peta Alkitab pada Alkitab saudara, yaitu peta kerajaan Israel dan Yehuda. Buatlah catatan peta pada Alkitab saudara bahwa bangsa Moab menyembah dewa Kamos [1 Raja-raja 11 ayat 7], Baal Peor [Bilangan 25 ayat 23]. Bangsa Amon menyembah dewa Milkom dan dewa Molokh [1 Raja-raja 11 ayat 5], bangsa Filistin menyembah dewa Dagon [Hakim-hakim 16 ayat 23]. Di Koy Sidon orang menyembah Asytoret [1 Raja-raja 11 ayat 5]. Bukan hanya di tanah Kanaan tetapi juga di seluruh bangsa-bangsa di muka bumi ini masing-masing telah mengenal dan memuja ilah-ilah atau tuhan-tuhan lokal. Debata Mulajadinabolon adalah salah satu ilah lokal, berhala atau malaikat Iblis yang memperkenalkan dirinya sebagai “tuhan” untuk menipu orang Batak. Penyebutan Debata Mulajadinabolon biasanya disingkat dengan sebutan “Debata” saja.

Di dalam sistem religi/agama/kepercayaan Batak Debata Mulajadinabolon adalah pencipta pulau Sumatera dengan segala isinya melalui tangan manusia-dewi Siborudeakparujar. Manusia pertama orang Batak yaitu si Raja Batak dipercayai sebagai keturunan Siraja Ihatmanisia dan Siboru Itammanisia. Kedua orang ini adalah hasil perkawinan Siborudeakparujar dengan Tuan Rumagorgarumauhir. Siborudeakparujar adalah anak Debata Bataraguru. Tuan Rumagorgarumauhir adalah anak Debata Balabulan. Debata Bataraguru dan Debata Balabulan adalah anak Debata Mulajadinabolon hasil perkawinan dengan Manuk Hulambujati.

Manusia pertama atau leluhur orang Batak, si Raja Batak yang dipercayai tinggal di dolok Pusuk Buhit adalah keturunan Debata Mulajadinabolon. Kepercayaan ini menyangkali penciptaan manusia pertama di taman Eden juga memutuskan asal-usul orang Batak (sesungguhnya bermula dari Adam dan Hawa yang diciptakan oleh Tuhan dari debu tanah). Iblis telah menipu orang Batak dengan menyatakan diri sebagai asal mula atau pencipta manusia sehingga manusia (orang Batak) harus menyembah, memuja, dan menuruti setiap perintah/larangan Debata Mulajadinabolon.

Dari sistem agama Batak, Debata Mulajadinabolon adalah nama sembahan. Roma 1 ayat 23 mencatat bahwa manusia telah menggantikan kemuliaan Tuhan yang tidak fana dengan gambaran yang mirip dengan manusia yang fana. Debata Mulajadinabolon digambarkan memiliki istri, berketurunan, memiliki cemburu, amarah. Anak-anak Debata Mulajadinabolon juga saling mengawini, berketurunan, saling jatuh cinta, saling bersaing, saling menipu dan dapat mati. Salah seorang anak Debata (Dewata) Balasori : Sirajaindainda bunuh diri karena takut cintanya ditolak Siborusorbajati anak Debata Bataraguru. Betapa jauhnya perbedaan antara Tuhan Yang Maha Mulia dengan berhala bangsa-bangsa [1 Tawarikh 16 ayat 26, “Sebab segala allah bangsa-bangsa adalah berhala, tetapi TUHAN-lah yang menjadikan langit”]. Orang yang percaya kepada TUHAN YESUS dilarang menyembah dan memuja Debata Mulajadinabolon, tetapi di dalam kehidupan orang Batak pemujaan terhadap Debata Mulajadinabolon masih kuat melalui pelaksanaan ADAT ISTIADAT yang akan diuraikan lebih lanjut.

II. ADAT ISTIADAT SUKU-SUKU BANGSA ITU BERHALA !

Kata “kebiasaan” pada kalimat “...jangan kamu hidup menurut kebiasaan mereka...” dapat diterjemahkan dengan kata “adat”. Alkitab terjemahan lama kalimat pada Imamat 18 ayat 3 berbunyi sebagai berikut “...jangan kamu menurut adat-adat mereka itu”. Alkitab bahasa Batak (Bibel) berbunyi “... djala ndang jadi ihutonmuna adat nasida i...”

Adat siapa yang tidak dapat diikuti? Adat bangsa-bangsa dan bukan hanya adat orang di tanah Mesir di mana orang Israel berdiam dan adat bangsa-bangsa di tanah Kanaan yaitu adat bangsa Amori, bangsa Het, adat bangsa Hewi dan sebagainya. Demikian juga terhadap adat-adat lain yang ada di dunia ini termasuk adat-adat istiadat yang ada di lingkungan kita. Adakah adat istiadat nenek moyang manusia yang diilhami oleh Iblis ini lebih luhur dari perintah Tuhan YESUS?

Tuhan YESUS dengan jelas dan tegas mengatakan jangan pernah mematuhi adat istiadat manusia dalam rekaman Injil Markus 7 ayat 1-13. Bahkan Tuhan YESUS marah besar ketika manusia itu dengan dalihnya sendiri mengenyampingkan perintah Tuhan! Ironisnya yang terjadi pada saat ini banyak orang Batak yang lebih takut disebut tak beradat daripada tak ber-Tuhan! Mungkin orang-orang yang berasal dari suku-suka bangsa lain juga demikian! Benarlah apa yang dikatakan Tuhan YESUS dalam Markus 7 ayat 8-9; “Perintah Tuhan kamu abaikan untuk berpegang pada adat istiadat manusia. YESUS berkata pula kepada mereka: “Sungguh pandai kamu mengesampingkan perintah Tuhan, supaya kamu dapat memelihara adat istiadat kamu sendiri.” Tuhan YESUS akan merubah adat istiadat itu seturut dengan waktu dan cara-Nya sendiri! [Baca Kisah Para Rasul 16 ayat 14].

Oleh karena itu janganlah menuruti kebiasaan atau adat orang Batak Toba, Simalungun, Karo, Pakpak, Angkola, Mandailing, Nias, Melayu, Jawa, Ambon, Minahasa, Tiong Hoa dan lain-lain. Upacara adat tidak terlepas dari agama suku bangsa. Sesungguhnya upacara adat adalah bagian dari bentuk pemujaan dan ketaatan kepada ilah-ilah lokal. Bahwa adat istiadat orang Batak yang dilaksanakan dengan patuh oleh orang Batak sekarang ini adalah agama BATAK PARMALIM yang diilhamkan oleh Iblis. Namun banyak orang Batak akan dengan cepat menyanggah bahwa Adat orang Batak bukanlah agama tapi kebudayaan. Saya membaca satu alinea dari buku acara dalam merayakan 100 tahun Sending HKBP [Huria Kristen Batak Protestan], isinya yaitu :

Kondisi masyarakat Batak yang hidup di daerah pedalaman Sumatera Utara pada zaman dahulu amat memprihatinkan; jauh dari jangkauan kemajuan di dalam setiap aspek kehidupannya. Terbelakang dalam kehidupan sosialnya, hal ini ditandai dengan kehidupan yang amat miskin dan sederhana. Terbelakang dalam bidang pendidikan, hal ini ditandai dengan masyarakat yang buta huruf dan penuh dengan kebodohan. Mereka hidup dalam adat istiadat yang mengikat dan yang harus dilaksanakan supaya ilah yang disembah jangan marah. Peperangan antar kampung dan antar marga, saling bermusuhan dan mendengki merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan sehari-harinya. Agama suku yang bernama Parmalim menyembah Debata Mula jadi Na Bolon sebagai ilahnya. Ilah inilah yang merupakan agama asli orang Batak pra datangnya Injil.

Berbicara tentang upacara adat Batak haruslah dihubungkan dengan agama suku bangsa Batak. Ada lima kategori yang bisa diambil pendekatannya untuk menunjukkan bahwa adat istiadat Batak tersebut merupakan agama.

Pertama, pada umumnya setiap agama mempunyai Pemimpin atau Imam. Di dalam kegiatan adat istiadat Batak ada seorang Pemimpin yang disebut Raja Parhata atau seorang Datu, dialah yang memimpin ritual adat istiadat Batak.

Kedua, umumnya setiap agama mempunyai Kitab, dalam agama Batak ada dua kitab yang disebut Pustaha Tumbaga dan Pustaha Laklak.

Ketiga, adanya upacara-upacara atau ritual. Di dalam adat istiadat Batak ada banyak ritual-ritual yang dilaksanakan seperti upacara perkawinan (marhajabuan), kematian (hamatean), menggali tulang-belulang leluhur (mangongkal holi), kelahiran (mangharoan), kehamilan (mangganje), pemandian dan pemberian nama (martutu aek dan mampe goar), memasuki rumah (mangampoi jabu), menyulangi orang tua (manulangi). Di dalam pelaksanaan ritual ini dalam adat istiadat Batak ada alat penyembahan yang selalu harus dipakai untuk menyempurnakan ritual tersebut yaitu ULOS.

Ulos adalah kain untuk upacara dengan berbagai fungsi dan tenunannya. Pada awal mulanya, Ulos Batak di zaman dahulu selalu diawali dengan permohonan kepada seorang ahli-tenun untuk membuatkan satu jenis ulos tertentu. Si pemesan harus menyediakan tiga lembar daun sirih serta tiga rupa “itak” (tepung beras yang dikepal) yang tiga warna (putih, kuning, merah) ditempatkan dalam bakul kecil beserta uang enam rupiah batu. Sesajian (sesajen) ini didoakan secara animistis dengan kata-kata a.l.: “Ale ompung mulajadi na bolon...” ; barulah ditentukan hari yang baik untuk memulai menenun ulos itu. Cara ini masih dilakukan hingga masa kini, jika memesan ulos yang bertujuan khusus. Dapatlah disimpulkan bahwa “begu” (setan-lah) yang “mengijinkan” atau mensponsori ulos tadi.

Menurut fungsinya, ulos dalam upacara adat Batak, dikenal (misalnya) berbagai ulos, dengan kegunaannya :

Ulos Tondi; Ulos yang diselubungkan kepada seorang calon ibu yang mengandung tujuh bulan bayi pertamanya! Dengan diselubungkannya ulos tondi (Indonesia : kain roh) ini, diharapkan bayi itu lahir dengan selamat. Ulos tondi adalah jaminan keselamatan ibu dan bayi, begitulah rupanya kepercayaan animistis di kala itu. Siapa yang menjamin keselamatan itu? Tentunya suatu “tondi” atau roh, yang mampu melindungi ibu dan bayinya. Roh yang mana itu? Yang pasti bukan Roh Kudus!, sebab orang Batak telah mengenal ulos tondi ratusan tahun sebelum ke-kristen-an di tanah Batak! Setelah bayi lahir boleh jadi ia akan beroleh Ulos Parompa yakni ulos dengan kegunaan khusus: untuk menggendong bayi, sampai bayi pandai berjalan;
Ulos Parompa; diberikan oleh “tulang” (paman) si bayi, khusus untuk menggendong bayi itu;
Ulos Sampetua; adalah ulos yang diberikan kepada seseorang yang baru saja mengalami musibah atau sakit berat, dengan harapan agar ia berusia lanjut;
Ulos Saput; adalah ulos yang diberikan khusus pada acara kematian, biasanya digunakan untuk menutupi peti mati;
Ulos Tujung; diberikan kepada seorang perempuan yang baru kematian suami untuk dikenakan selama jangka waktu tertentu;
Ulos Holong; diberikan pada waktu seorang bayi dibaptis secara Kristiani; juga biasa diberikan pada waktu seseorang lepas sidi (acara Kristiani).
Perhatikan saudara, betapa acara animistis secara agresif telah merambah kekristenan, sehingga acara Gereja (Baptis dan Naik Sidi) jadi merosot sehingga harus “disempurnakan” dengan pemberian ulos, benda-benda dari zaman kegelapan! Kiranya Tuhan YESUS mengampuni kesesatan bangsa Batak!

Keempat, adanya doa-doa. Di dalam adat istiadat Batak ada doa-doa yang dipanjatkan kepada sembahannya bahkan mantra-mantra juga disampaikan pada ritual adat Batak. Contohnya pada peresmian tugu marga leluhur yang dilakukan oleh seluruh keturunan marga, darimanapun mereka berasal, dipanjatkan beberapa “tonggo” (mantra, Pen.) kepada Debata mulajadinabolon agar mendatangkan rohnya ke tugu tersebut, seperti:

“Ditonggo asa diparo Mulajadinabolon, tondi ni ompu tu tuguna. Binahen saring-saring ni amanta on tu tambak na guminjang, tu ginjang ma parhorasan, asa tu ginjang ma panggabean, patumpahon ni ompunta martua Debata dohot tumpahon ni tondi ni angka raja di loloan”

Artinya: “Didoakan supaya didatangkan oleh Mulajadi nabolon rohnya ke tugu ini. Dengan ditaruhnya tulang belulang bapak ini, ke kuburan atau tugu yang tinggi, kiranya meningkatlah kemakmuran, keberhasilan dan kesejahteraan yang dikerjakan oleh Debata yang berbahagia, dan disokong oleh roh-roh para raja yang hadir si sini.”

Mantra ini secara langsung mengundang roh-roh setan untuk datang ke tempat itu dan “memberkati” kegiatan dan seluruh keturunan marga leluhur! Betapa dalamnya penyesatan yang terjadi kepada orang Batak yang mengaku Kristen yang dilakukan oleh Iblis dan mau pula dipatuhi oleh orang Batak bahkan setia melakukannya!

Berbelas kasihanlah Tuhan YESUS kepada orang Batak yang mengaku pengikut-Mu!

Kelima, adanya umat. Umat dalam agama Batak tentunya orang Batak sendiri yang mau patuh dan setia melaksanakan adat istiadat agama suku bangsa Batak.

Sistem religi Batak itu mengilhami peserta upacara adat, yaitu “dalihan natolu” dengan “suhi ampang na opat” yaitu “hula-hula”, “dongan tubu”, “boru” dan yang digolongkan sebagai “sihal-sihal”. Sistem religi ini juga mensyaratkan penentuan waktu pelaksanaan upacara, biasanya dilakukan dengan “maniti ari” atau mencari hari-hari baik melalui “parhalaan” atau kapan waktu “mangampehon tujung”, kapan waktu “mangan indahan sibuha-buhai”. Agama Batak ini juga mempergunakan benda-benda upacara adat yaitu “ulos”. Dalam hal ini dipersiapkan secara cermat berapa jumlahnya, jenis ulos apa yang dipakai. Perlengkapan penyembahan lainnya adalah “tudu-tudu sipanganon”, “ihan” (dengke), “panjuhuti”, “gondang sabangunan” dan sebagainya. Hal ini semuanya diatur menurut peraturan yang telah digariskan alam gaib oleh Dewata dengan demikian upacara adat Batak bukan sekedar yang disepakati bersama yang diterima, diwariskan dari nenek moyang belaka melainkan diatur oleh alam gaib.

A. Sumber Upacara Adat Batak

Agama Batak mempercayai alam gaib (alam tidak kasat mata, alam roh) mempengaruhi upacara adat. Upacara adat Batak merupakan serangkaian aktifitas bermakna yang diilhamkan oleh “roh” yang menjadi sembahan leluhur Batak yaitu Siraja Batak yang disebut Debata Mulajadinabolon yang biasa dipanggil ”Debata”. Pengilhaman itu dapat kita lihat dalam cerita lisan (turi-turian). Turi-turian itu bukan sekedar mitos seperti anggapan banyak orang yang rasionalistik. Turi-turian tersebut juga menyimpan beberapa fakta rohani dari asal-muasal kehidupan religius leluhur orang Batak. Melalui turi-turian kita dapat menelusuri sumber awal dari keberadaan adat Batak.

Si Boru Deak Parujar dengan suaminya Tuan Ruma Gorga memiliki sepasang anak kembar yaitu Siraja ihatmanisia dan Siboru itammanisia. Ketika itu hubungan manusia dengan dengan para dewa harmonis di mana mereka sering berjumpa secara langsung di puncak Pusuk Buhit. Kedua anak itu melakukan hubungan sumbang sehingga para dewa marah. Debata Mulajadi Nabolon kemudian membawa kedua orang tua anak itu ke langit. Salah satu dewa yaitu Debata asi-asi diperintahkan oleh Debata Mulajadi Nabolon menemani ke dua anak kembar itu. Karena merasa kasihan, Debata asi-asi meminta supaya Debata Mulajadi Nabolon tetap membimbing ke dua anak itu. Debata Mulajadi Nabolon memberikan adat sebagai pembimbing mereka dengan cara mamemehon (menyuapkan) adat ke mulut keduanya. Setelah itu para dewa menjauh dan tidak mau berhubungan langsung dengan manusia. Supaya tetap mendapat perkenanan Debata Mulajadi Nabolon, ke dua anak kembar itu serta keturunannya harus memelihara adat yang diberikan oleh Debata Mulajadi Nabolon.

Pengilhaman oleh roh sembahan leluhur dinyatakan secara implisit dalam istilah mamemehon (disuapkan). Jadi terlihat bahwa upacara adat Batak bukan merupakan hasil pemikiran dari leluhur semata tetapi merupakan konsep, ide, paradigma yang ditransferkan ke pikiran leluhur oleh roh sembahannya. Hal ini kemudian diajarkan secara lisan kepada keturunannya. Pemahaman yang diilhamkan inilah yang harus dilakukan terus menerus agar keturunannya mendapat berkat dari Debata Mulajadi Nabolon. Pantun yang berbunyi : “Tuatma nan dolok martungkat sialagundi, napinungka ni ompunta sijolo-jolo tubu diihutton naparpudi” yang selalu mengingatkan orang Batak supaya tetap melaksanakan segala ketentuan adat dari leluhur. Apakah orang Batak pernah bertanya apa yang sudah dibuka dan dimulai oleh para leluhur, apa yang mengilhami mereka dan kenapa orang Batak harus patuh kepada apa yang sudah dilakukan leluhur yang adalah penyembah berhala!? Bukankah kita seharusnya mematuhi kebenaran Injil yang disabdakan YESUS, bahwa hanya Dia-lah jalan, kebenaran dan hidup? [Baca Yohanes 14:6 dan Yohanes 6:63]. Dengan perkataan lain, yang berasal dari Tuhan YESUS sajalah yang dipatuhi, yang bukan berasal dari Tuhan YESUS harus ditolak!

Kita harus menyadari bahwa selain Tuhan, Iblis juga dapat memasukkan berbagai gagasan pikirannya ke hati dan pikiran manusia. Alkitab memberikan contoh yaitu ketika Petrus menegor YESUS berkaitan dengan pernyataan-Nya tentang rencana penyaliban, dan kemudian Petrus dimarahi YESUS. Pernyataan Petrus ini didorong oleh kehadiran Iblis yang kemudian menyuntikkan pikirannya ke dalam pikiran Petrus, yang tercetus pada ucapannya. Reaksi YESUS adalah:

Maka berpalinglah YESUS dan sambil memandang murid-muridNya Ia memarahi Petrus, kataNya : “Enyahlah Iblis, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Tuhan, melainkan apa yang dipikirkan manusia.” [Markus 8 ayat 33]. Contoh lain, ketika Iblis memasukkan gagasannya ke dalam pikiran Daud untuk melakukan sensus penduduk, seperti tertulis pada 1 Tawarikh 21 ayat 1, 7; [1] “Iblis bangkit melawan orang Israel dan ia membujuk Daud untuk menghitung orang Israel. [7] Tetapi hal itu jahat di mata Tuhan, sebab itu dihajarNya orang Israel”.

Bimbingan langsung Iblis secara gaib di dalam hati manusia pada saat ini, juga dapat kita lihat di dalam aktifitas para dukun di dalam memeriksa, menemukan penyakit dan mengobati para pasiennya.

B. Implikasi Pelaksanaan Adat Istiadat Batak Dengan Kehidupan Gereja Batak

Upacara penyembahan nenek moyang yang merupakan inti agama Batak pada masa kegelapan merebak dilakukan oleh masyarakat Batak Kristen sekarang. Kebangkitan penyembahan ini mengambil bentuk baru yang ditandai dengan menjamurnya pembangunan tugu-tugu marga Batak. Anda dapat melihat banyaknya tugu yang dibangun sepanjang jalan lintas antara kota Parapat dengan kota Tarutung. Tugu tersebut dibangun oleh keturunan marga yang berasal dari satu garis leluhur (ompu parsadaan). Pembangunan ini telah menghabiskan dana sangat besar, bahkan mendatangkan kemerosotan rohani yang dalam. Kalau dulu Nommensen mau dikorbankan oleh orang Batak kepada roh sembahan leluhur marganya di atas bukit Siatas Barita, maka sekarang yang terjadi sebaliknya. Banyak Pendeta maupun Penatua (Sintua) memimpin kebaktian pada acara pemujaan roh nenek moyang di tugu-tugu marga. Ironisnya lagi, pelaksanaan upacara di masa kegelapan itu dibungkus dengan kebaktian gerejawi yang dilaksanakan di lokasi pendirian tugu marga di mana tulang belulang leluhur marga itu dikubur kembali [Bandingkan Matius 23:29]. Proses pembangunan tugu juga banyak melibatkan kuasa setan melalui datu (spirit medium), misalnya untuk menentukan lokasi penggalian tulang-belulang leluhur marga.

Sinkritisme orang Kristen Batak dapat kita lihat juga dalam pelaksanaan perkawinan. Perkawinan orang Kristen Batak dilakukan dengan dua jenis upacara: upacara kegerejaan yang biasanya dilanjutkan dengan upacara agama Batak. Pelaksanaan kedua upacara tersebut merupakan suatu keharusan, sekalipun tidak ada Firman Tuhan yang memerintahkannya. Pernikahan secara gerejani, tanpa diikuti dengan pelaksanaan upacara adat, sering menimbulkan konflik besar di dalam keluarga orang yang hendak menikah. Di gedung gereja, orang Batak melakukan upacara kekristenan, sedangkan di luar gedung gereja mereka melakukan upacara agama leluhur. Perbedaannya hanya pada orang yang memimpin upacara. Dulu dipimpin oleh Datu, sekarang digantikan oleh Pendeta. Peranan datu digantikan oleh pendeta, tetapi rangkaian upacara adat (agama leluhur) selanjutnya tetap sama. Berkat (pasu-pasu) dari Tuhan YESUS dianggap belum cukup, dan perlu disempurnakan dengan berkat dari hula-hula dan dan lainnya. Kesempurnaan dan kemutlakan karya YESUS KRISTUS telah disingkirkan demi mempertahankan upacara kegelapan warisan leluhur itu.

Sinkritisme ini bukan hanya terjadi di kalangan gereja-gereja tradisional Batak saja tetapi juga telah merembes kepada orang-orang Kristen yang mengaku Injili, Alkitabiah, dan menjunjung tinggi keunikan Injil dan lebih giat melakukannya. Dari mimbar orang Kristen yang mengaku Injili yang ada di Sumatera Utara, bahkan yang ada di luar pulau Sumatera, sering disuarakan dukungan atas pelaksanaan upacara adat Batak. Merekapun banyak yang terlibat dalam pelaksanaan aktifitas itu. Tanpa disadari umat Kristen di tanah Batak (juga di luar tanah Batak) telah berubah menjadi umat yang mendua hati, satu sisi mencoba mengikuti ajaran YESUS KRISTUS, pada sisi yang lain giat melakukan ajaran agam nenek moyangnya. Dalam hidup keseharian telah terjadi pencampuran kedua ajaran, yaitu agama leluhur dan Injil YESUS KRISTUS. Akibatnya kekristenan orang Batak menjadi kompromistis, permisif dan kebenaran Injil menjadi relatif! Satu kaki berpijak pada Injil (?), dan kaki lainnya berpijak pada adat istiadat (agama hasipelebeguon). Satu sisi dalam terang, sisi lain dalam kegelapan. Ini tentunya bertentangan dengan Firman Tuhan YESUS yang tidak menginginkan adanya kompromi antara kebenaran YESUS KRISTUS dengan kegelapan Iblisi. Seperti yang tertulis di dalam rekaman Injil Matius 10 ayat 34; “Jangan kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk membawa damai di atas bumi; Aku datang bukan untuk membawa damai, melainkan pedang...”. Tuhan YESUS akan tetap mempertentangkan antara kebenaran dengan kefasikan (truth encounter), dan selamanya tidak akan bisa kebenaran YESUS dengan kejahatan itu dicampuradukkan! [Bandingkan Lukas 12 ayat 51. Tidak mungkin hal yang buruk berasal dari sesuatu yang baik. Perhatikan apa yang tertulis dalam Yakobus 3-11-12: [11] Adakah sumber memancarkan air tawar dan air pahit dari mata air yang sama? [12] Saudara-saudaraku, adakah pohon ara dapat menghasilkan buah zaitun dan adakah pokok anggur dapat menghasilkan buah ara? Demikian juga mata air asin tidak dapat mengeluarkan air tawar. Saya tegaskan, tidak ada satupun istiadat di dunia ini yang berasal dari kebenaran Injil! Sebab Injil tidak mengajarkan adat istiadat. Oleh karena itu, hal-hal yang ditentang Tuhan tentunya harus ditinggalkan [Bacalah Markus 7:8-9].

Orang Batak telah melupakan prinsip rohani bahwa terang tidak dapat bersatu dengan gelap!. Dalam bahasa Tuhan YESUS :

“Tidak seorangpun dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian, ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Tuhan dan kepada Mamon.” [Matius 6 ayat 24].

III. DALIHAN NA TOLU DALAM PANDANGAN INJIL

Upacara adat Batak merupakan upacara religius yang menggambarkan atau memetakan roh sembahan para leluhur. Peta ini dapat terlihat dalam struktur masyarakat Batak yang disusun dengan prinsip Dalihan Na Tolu yang arti hurufiahnya “tungku yang berkaki tiga”. Prinsip ini membagi status dan peranan seseorang dalam tiga bagian, yaitu : Hula-hula (pihak pemberi gadis), Dongan Sabutuha (teman seperut/semarga), dan Boru (pihak penerima gadis). Pada masyarakat Karo disebut Kalimbubu, Senina, dan Beru. Hubungan dalam Dalihan Na Tolu ditata dalam suatu falsafah: “Somba marhulahula, elek marboru, manat mardongan tubu”. (Bersembah kepada hula-hula, berhati-hati kepada teman semarga, membujuk boru).

Melalui ketiga kategori ini, setiap orang yang terlibat dalam upacara adat akan dipisahkan duduknya (parhundulanna) berdasarkan hubungan kekerabatan (tutur) antara dia dengan Suhut, yaitu pihak yang mengadakan upacara. Pihak hula-hula duduk dalam suatu kelompok khusus, demikian juga pihak Boru dan Dongan sabutuha. Kehadiran mereka dalam upacara itu untuk melaksanakan segala kewajiban dan menerima segala hak yang telah ditentukan di dalam adat atau aturan hidup agama Batak. Setiap unsur dalam Dalihan Na Tolu memiliki hak dan kewajiban yang berbeda antara satu dengan yang lainnya.

Pada tatanan sosial, Dalihan Na Tolu menata hak dan kewajiban antara seseorang atau sekelompok orang dengan orang atau kelompok lainnya. Setiap orang dalam masyarakat Batak harus menjalankan perannya sesuai statusnya dalam konteks upacara adat. Pada suatu acara adat dia bisa berperan sebagai hula-hula, sedangkan pada cara lain dia bisa berperan sebagai boru atau dongan sabutuha. Setiap orang Batak akan menduduki ketiga status itu pada saat dan hubungan kekerabatan yang berlainan. Misalkan si A, terhadap keluarga dari pihak istrinya dia berstatus sebagai Boru, terhadap keluarga dari pihak suami adik/kakak perempuannya (ito), dia berstatus sebagai Hula-hula. Sementara terhadap adik lelaki atau abangnya dia berstatus sebagai Dongan Sabutuha. Pada tatanan rohani, Dalihan Na Tolu menggambarkan relasi antara manusia dengan alam gaib, antara Banua Tonga dengan Banua Ginjang.

Dr. Annicetus Sinaga menjelaskan struktur Dalihan Na Tolu menggambarkan hubungan 3 roh dewa sembahan leluhur yaitu Batara Guru, Mangala Sori (Bala Sori), dan Mangala Bulan (Bala Bulan). Dengan demikian, Dalihan Na Tolu merupakan tatanan rohani yang dimulai dari dunia atas (banua ginjang) dan harus dilakukan di bumi. Tiga roh dewa sembahan leluhur ini dikenal sebagai debata na tolu. Debata na tolu ini adalah Trinitas palsu!

Hula-hula merupakan personifikasi dari Batara Guru, Dongan Sabutuha personifikasi dari Mangala Sori dan Boru merupakan personifikasi dari Mangala Bulan. Tiga dewa serangkai ini juga melahirkan pola berfikir triade dalam tenunan Ulos dengan representasi warna-warnanya yang disebut bonang manalu yaitu tiga warna magis; hitam – putih – merah. Warna hitam melambangkan dunia atas ? Bataraguru, warna putih melambangkan dunia tengah ? Balasori, warna merah melambangkan dunia bawah ? Balabulan.

Struktur ini merupakan pola yang menata hubungan di dunia atas dan ditetapkan oleh Mulajadinabolon untuk juga diberlakukan di dunia manusia (banua tonga). Struktur ini dibangun dan dijamin keberadaannya oleh dewa tertinggi Batak, yaitu Debata Mulajadinabolon. Sehingga struktur itu merupakan kehendak Debata (malaikat Iblis sembahan leluhur Batak) bagi manusia, dalam hal ini bagi orang Batak.

Pelanggaran struktur ini merupakan pelanggaran terhadap ketetapan Debata Mulajadinabolon, dan merusakkan keseimbangan antara alam makrokosmos dengan alam mikrokosmos. Karena itu, pelanggaran ini akan mendapatkan sanksi dari debata sendiri. Ketakutan akan hukuman Debata Mulajadinabolon ini tertanam di hati orang Batak sehingga mereka tetap berupaya mempertahankan keberadaan upacara adat Batak.

Dalam struktur ini, eksistensi roh sembahan leluhur di alam gaib atau banua ginjang direfleksikan di alam fisik atau banua tonga di dalam ketiga unsur Dalihan Na Tolu yang membangun suatu upacara adat, yaitu Hula-hula, Dongan Sabutuha, dan Boru. Kehadiran ketiga roh sembahan leluhur dalam suatu upacara dinyatakan dalam kehadiran ketiga unsur Dalihan Na Tolu. Setiap upacara yang dilakukan harus dihadiri oleh ketiga unsur ini, kalau tidak, maka upacara adat tidak dapat dilaksanakan. Inilah ketetapan yang telah dibuat oleh Mulajadi nabolon.

Jadi struktur Dalihan Na Tolu merupakan proyeksi dari eksistensi ketiga dewa sembahan leluhur Batak yang ada di dunia atas (banua ginjang). Manusia sebagai pelaku upacara adat adalah sarana yang dijadikan untuk memproyeksikan eksistensi dan peranan roh sembahannya. Selama upacara adat Batak dilakukan, ketiga dewa tersebut tetap mendapat tempat untuk diproyeksikan eksistensinya dalam kehidupan bangsa Batak, sekalipun mereka tercatat sebagai orang yang beragama Kristen. Hal ini terjadi karena banyak orang Batak Kristen tidak pernah mengetahui arti rohani yang sesungguhnya dari struktur Dalihan Na Tolu itu, dan menganggap Dalihan Na Tolu itu hanya sebagai pengklasifikasian dari status dan peranan sosial dari anggota masyarakat saja. Kita tidak pernah menyadari bahwa melalui struktur itu Iblis memanipulasi diri kita untuk kepentingan dirinya sendiri.

Alkitab menegaskan bahwa setiap orang yang percaya kepada Tuhan YESUS adalah milik Tuhan. Tanda meterai kepemilikan Tuhan diberikan dalam bentuk kehadiran Roh Kudus di dalam hatinya. Efesus 1 ayat 13 mencatat;

“Di dalam Dia (YESUS) kamu juga, karena kamu telah mendengar firman kebenaran, yaitu Injil keselamatanmu – di dalam Dia kamu juga, ketika kamu percaya, dimeteraikan dengan Roh Kudus, yang dijanjikan-Nya itu. Dan Roh Kudus ituadalah jaminan bagian kita sampai kita memperoleh seluruhnya, yaitu penebusan yang menjadikan kita milik Tuhan, untuk memuji kemuliaan-Nya.”

Tanpa disadari, keterlibatan seseorang Kristen dalam upacara adat akan membuka ruang hatinya bagi kehadiran para roh sembahan leluhur dahulu kala yang adalah roh setan. Penerimaan akan kehadiran roh sembahan leluhur akan membuat Roh Kudus mengundurkan diri dari dalam hidup orang itu karena Roh Kudus adalah lemah lembut dan tidak pernah mau memaksakan kehadiran dan keinginanNya kepada manusia. Pembentukan unsur Dalihan Na Tolu ini merupakan pelanggaran terhadap Hukum Taurat pertama :

“Akulah Tuhanmu, yang membawa engkau keluar dari tanah Mesir, tanah perbudakan. Jangan ada padamu ilah lain di hadapan-Ku.” [Ulangan 5 ayat 6-7].

Dengan melakukan upacara adat kita memberikan jalan masuk pada kehadiran roh sembahan leluhur di dalam kehidupan kita. Pelaksanaan upacara adat Batak juga membuat kita melanggar Hukum Taurat kedua, yaitu dalam Ulangan 5 ayat 8; “Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apapun yang ada di langit atas, atau yang ada di bumi di bawah.”

Dalam agama Batak personifikasi kehadiran roh sembahannya tidak dibuat dari patung batu, kayu, tembaga atau emas. Patung dalam agama Batak tidak terbuat dari benda mati, tetapi terbuat dari darah dan daging, yaitu tubuh manusia. Personifikasi dan gambaran dari kehadiran roh itu dinyatakan dalam diri orang Batak itu sendiri. Upacara adat adalah upacara yang menjadikan orang Batak sebagai patung-patung hidup dari ketiga roh sembahan yang merupakan pancaran dari Debata tertinggi Mulajadinabolon. Keterlibatan dalam suatu acara adat membuat seorang yang dicipta sebagai Peta Tuhan berubah menjadi “Peta Mulajadinabolon” atau lebih jelas lagi “Peta Iblis”. Sebagai Hula-hula dia merupakan patung hidup dari Batara Guru, sebagai Boru dia merupakan patung hidup dari Mangala Bulan, dan sebagai Dongan Tubu dia merupakan patung hidup dari Mangala Sori.

Paulus menyebutkan bahwa tubuh kita adalah Bait Roh Kudus. 1 Korintus 6 ayat 19; “ Tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah Bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu.”

Lagipula Tuhan YESUS tidak akan pernah berkenan hadir dalam suatu upacara adat, sekalipun dibungkus dengan doa kristiani dan memakai nama Tuhan YESUS. Karena Tuhan tidak akan pernah membagikan kemuliaan-Nya kepada yang lain. Bagaimana Tuhan YESUS berkenan hadir dalam suatu upacara adat yang Dia tahu untuk kemuliaan Iblis. Yesaya 42 ayat 8 menegaskan “…Aku tidak akan memberikan kemuliaan-Ku kepada yang lain atau kemasyhuran-Ku kepada patung.”

Ada sebagian orang yang membenarkan upacara itu dengan alasan bahwa mereka melakukan doa dan umpasa yang memakai nama YESUS. Apalagi kalau pendeta yang memimpin doa itu. Membungkus upacara adat dengan membawa nama YESUS sama dengan menghujat Tuhan dengan menyebut nama-Nya dengan sembarangan. Ulangan 5 ayat 11;

“Jangan menyebut nama TUHANmu dengan sembarangan, sebab TUHAN akan memandang bersalah orang yang menyebut nama-Nya dengan sembarangan.”

Orang Batak juga menyangka bahwa dengan menyebut nama YESUS dalam acara adat istiadat (apalagi kalau yang memimpin doa itu seorang pendeta senior) maka “sah”-lah acara adat istiadat itu. Waspadalah orang Batak! Jangan sampai Tuhan YESUS pada hari terakhir akan menyebut mereka pembuat kejahatan! Matius 7 ayat 21 dan 23 Tuhan YESUS dengan tegas mengatakan;

“[21] Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak BapaKu yang di sorga. [23] Pada waktu itulah Aku akan berterus terang kepada mereka dan berkata: Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah daripadaKu, kamu sekalian pembuat kejahatan!”.

Oleh karena itu perbuatan orang Batak yang sudah demikian melenceng bahkan merupakan kekejian di hadapan Tuhan YESUS harus diingatkan! Seperti yang tertulis dalam Titus 1 ayat 13-14; “Karena itu tegorlah mereka dengan tegas supaya mereka menjadi sehat dalam iman, dan tidak mengindahkan dongeng-dongeng Yahudi dan hukum-hukum manusia yang berpaling dari kebenaran.”

Janganlah mulut kita mengatakan kita bahwa kita menyembah Tuhan YESUS namun perbuatan kita tidak menunjukkan sama sekali kalau kita menyembah satu-satunya Tuhan yaitu YESUS KRISTUS malah kita melakukan kekejian dihadapan-Nya. Titus 1 ayat 16; “Mereka mengaku mengenal Tuhan, tetapi dengan perbuatan mereka, mereka menyangkal Dia. Mereka keji dan durhaka dan tidak sanggup berbuat sesuatu yang baik.”

Ibadah yang benar adalah yang menjadikan YESUS KRISTUS sebagai pusat penyembahan, bukan Debata Mulajadinabolon ataupun ketiga putranya. Kita juga dilarang menyembah hula-hula sebagai wakil Mulajadinabolon (debata na ni ida), Tuhan YESUS menegaskan; “Enyahlah iblis! Sebab ada tertulis: Engkau harus menyembah TUHANmu, dan hanya kepada Dialah kamu berbakti.” [Matius 4 ayat 10].

Tuhan YESUS juga menegaskan bahwa kita murid-Nya haruslah menyembah-Nya dalam roh dan kebenaran. Yohanes 4 ayat 23-24; “Tetapi saatnya akan datang dan sudah tiba sekarang, bahwa penyembah-penyembah benar akan menyembah Bapa dalam roh dan kebenaran; sebab Bapa menghendaki penyembah-penyembah yang demikian. Tuhan kita itu Roh dan barangsiapa menyembah Dia, harus menyembah-Nya dalam roh dan kebenaran.”

III. PENUTUP

Tuhan YESUS sangat merindukan saudara-saudara dikuduskan dari segala adat istiadat yang dibuat oleh Iblis yang mengambil rupa dan nama Debata Mulajadinabolon itu! Tuhan YESUS ingin menata kembali peta dan teladan Tuhan di dalam hidup saudara yang telah rusak dan tercemar akibat kejatuhan manusia ke dalam dosa, untuk membentuk watak ilahi sehingga saudara dapat disebut sebagai anak-anak terang [Yohanes 12 ayat 36] yang memisahkan diri dari kegelapan. Sebagai anak-anak terang kita harus berpegang dan melakukan ketetapan dan peraturan Tuhan. Maukah saudara keluar dari adat istiadat atau kebiasaan bangsa-bangsa yang kafir sebagaimana Tuhan YESUS sudah perintahkan pada ayat-ayat Alkitab yang sudah kita baca sepanjang tulisan ini? Memang besar tantangannya, mungkin saudara akan dikucilkan, difitnah, dicemooh atau dianiaya. Janganlah saudara memandang pada beratnya penderitaan tapi pandanglah berkat-berkat yang Tuhan mau siapkan. Untuk menerima kemuliaan bukankah Tuhan YESUS harus menderita memikul salib?

Penulis sendiri [Rheinhard Sinaga], mengalami hal yang sama ketika bersama istri memutuskan untuk patuh pada aturan Tuhan YESUS daripada adat istiadat manusia. Kami menikah tanpa adat istiadat, yang tentu saja memancing reaksi sebagian besar orang-orang yang merasa adat Batak itu harus dilaksanakan. Sebagian orang mungkin menyebut kami sesat! baik itu mereka sebutkan dalam hati maupun dengan ucapan mereka, namun kami tetap berjalan karena kami sangat takut kepada Tuhan YESUS dan tidak mau dibodohi oleh si Iblis yang sudah membodohi bangsa Batak sedemikian lamanya. Kami sudah membatalkan dan menyangkali semua kegiatan adat yang kami pernah terlibat di dalamnya secara sadar atau tidak sadar di masa lalu kami dan mohon ampun kepada Tuhan YESUS atas segala dosa-dosa itu dan mengundang Roh Tuhan YESUS untuk bekerja secara leluasa dalam hidup kami. Saudara ingatlah selalu firman Tuhan YESUS di dalam Matius 5 ayat 11-12;
[11] “Diberkatilah kamu, jika oleh karena Aku kamu dicela, dianiaya, dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat. [12] Bersuka cita dan bergembiralah karena upahmu besar di sorga, sebab demikian juga telah dianiaya nabi-nabi yang sebelum kamu.”

Matius 21 ayat 12-13;

[12] “Tetapi sebelum semuanya itu kamu akan ditangkap dan dianiaya; kamu akan diserahkan ke rumah-rumah ibadat dan penjara-penjara, dan kamu akan dihadapkan kepada raja-raja dan penguasa-penguasa oleh karena nama-Ku. [13] Hal itu akan menjadi kesempatan bagimu untuk bersaksi.”

Saudara pantas bermegah karena diperlayakkan mendapat bagian di dalam penderitaan Tuhan YESUS, sebgaimana yang tertulis di dalam Kisah Para Rasul 5 ayat 40-41;
[40] Mereka memanggil rasul-rasul itu, lalu menyesah mereka dan melarang mereka mengajar dalam nama Yesus. Sesudah itu mereka dilepaskan. [41] Rasul-rasul itu meninggalkan sidang Mahkamah Agama dengan gembira, karena mereka telah dianggap layak menderita penghinaan oleh karena Nama Yesus.

Dari uraian yang telah anda baca, selayaknyalah anda yang mengaku pengikut Tuhan YESUS, namun pelaku adat Batak, menginsyafi bahwa spiritualitas anda ini belum benar. Ibadah Kristiani anda ikuti, ritual animistis tidak ketinggalan. Maka sesungguhnya anda masih menyembah dua-ilah, menimbulkan kecemburuan Tuhan Maha Pencipta, yang memperkenalkan diriNya melalui Alkitab. Jika anda ingin sungguh-sungguh selamat, beroleh hidup kekal yang disediakan oleh YESUS KRISTUS, segeralah anda berdoa menurut doa berikut. Ucapkanlah saudara, dengan bersuara, sebab menurut ucapanmu engkau akan dibenarkan dan menurut ucapanmu pula engkau akan dihukum [Matius 12 ayat 37]. Berdoalah sebagai berikut : [anda juga tidak dipaksa untuk mengucapkan doa ini, karena hal itu adalah kedaulatan anda sendiri] :

Tuhan YESUS Raja dan Juruselamatku,

Saya mengakui kelemahanku di hadapan Raja YESUS, bahwa selama ini saya belum meninggalkan tuntas kepercayaan Animistis leluhurku, bangsa Batak.

Mampukanlah saya, ya Tuhan YESUS, meninggalkan kegelapan bangsa Batak, meninggalkan sembahan-leluhurku.

Saya mengundang Tuhan YESUS KRISTUS masuk ke dalam hatiku, menguasai kehidupanku, mengajar saya dari dalam batin, dan kuasa Tuhan YESUS membebaskan saya dari ikatan-ikatan Iblis dalam berbagai bentuknya.

Saya membatalkan semua perjanjian dengan Iblis yang dibentuk oleh leluhurku yang penyembah berhala. Kami seketurunan adalah pengikut Tuhan YESUS KRISTUS, terikat kepada Tuhan YESUS dalam bentuk perjanjian baru.

Demi nama Tuhan YESUS enyahlah malaikat Iblis sembahan leluhurku: Debata Mulajadi Nabolon bersama rombongannya, enyah juga malaikat Iblis sponsor kesaktian leluhurku juga malaikat Iblis sponsor adat Batak. Semua setan harus menyingkir dari kehidupanku dan dari keturunanku.

Mari, ya Tuhan YESUS, bersemayamlah Tuhan YESUS di dalam hatiku, memperbaiki watakku, agar saya menjadi peta Tuhan YESUS, bukan lagi peta Iblis seperti di masa laluku.

Baca lagi..

adat toba da kristen

Adat na Niadathon yaitu tingkatan pelaksanaan tata upacara adat yang sudah dipengaruhi kebudayaan dan peradaban yang telah menjadi kebiasaan dan kelaziman baru.

Melalui kebiasaan pelaksanaan adat pada species 2 yaitu Adat na Taradat terjadilah pergeseran-pergeseran nilai dan perobahan pelaku adat untuk menyikapi pelaksanaan upacara adat inti, melainkan memunculkan “adat baru” melawan dan menindas tata laksana upacara adat inti. Bentuk-bentuk kegiatan upacara adat yang baru pun muncul antara lain upacara adat wisuda, babtisan anak, lepas sidi, perayaan ulang tahun, peresmian perusahaan, dan lain-lain, yang sebenarnya jenis upacara adat di atas tidak dijumpai pada upacara adat Batak Toba khususnya pada adat inti.

Pada upacara adat dalam species Adat na Niadathon ini sangat dipengaruhi oleh unsur keagamaan. Di sini keterbukaan pintu adaptasi terhadap budaya dan kebiasaan dari luar atau pengaruh era globalisasi telah digunakan untuk merongrong dan menjajah adat inti atau adat asli yang selalu dilaksanakan etnis Batak Toba yang lama kelamaan menjadi memudar dan kabur, dan mungkin pada suatu saat akan tidak jelas dan pada akhirnya akan lenyap.

4. Adat na Soadat
Spesies adat berikut ini secara harafiah Adat na Soadat adalah adat yang bukan adat, karena tata laksana upacara adat disini tidak lagi berdasarkan struktur dan sistematika yang lazim dilaksanakan oleh etnis Batak Toba. Upacara yang dilaksanakan adalah sekedar “ngumpul” dalam bentuk resepsi, baik dalam upacara perkawinan, kematian dan lain-lain.

Struktur kekerabatan Dalihan Natolu yaitu hula-hula (pihak pengambilan boru), dongan tubu (saudara semarga), dan boru (pihak yang mengambil isteri) tidak lagi difungsikan, demikian juga halnya simbol-simbol dan media yang digunakan dalam upacara adat seperti dengke (ikan), boras (beras), ulos, jambar (daging yang dibagi-bagikan sesuai dengan kedudukan (status) kekerabatan (affina) seseorang pada upacara adat) dan lain-lain semua disingkirkan. Dalam penolakan upacara adat dalam spesies Adat na Soadat ini umpama Batak Toba menyebutkan :

Mumpat taluktuk, sega gadu-gadu
Nunga muba adat naung buruk ala ro adat naimbaru,
(Tercabut patok, rusak pembatas sawah, adat yang lama telah berobah karena sudah datang adat yang baru).

Ungkapan ini sebenarnya berkonotasi yang tidak baik karena patok adalah petunjuk yang ditetapkan dan dimufakati justru dicabut, maka ketetapan boleh dilanggar, hal ini akan menimbulkan ketegangan dan perpercahan. Pembatas sawah yang dianalogikan sebagai aturan dan batas-batas tindakan dan perilaku dengan dasar nilai-nilai adat sudah rusak akan menimbulkan kekhaosan, pertentangan dan perpercahan.

Kelompok yang menolak upacara adat ini adalah sebahagian dari kelompok agama Kristen sekte kharismatik dan juga kelompok agama Kristen Gereja Sidang Jemaat Allah (GSJA) dan mungkin individu-individu pada gereja suku yang menolak pelaksanaan upacara adat. Menurut kelompok ini upacara adat berasal dari leluhur yang masih hidup dalam penyembahan berhala pada masa kegelapan sebelum agama Kristen masuk ke daerah Batak Toba. Oleh karena itu upacara adat tidak hanya sebagai aktivitas sosial yang berdiri sendiri tetapi terkait dengan segala ide, gagasan, paradigma, norma kuasa roh kegelapan yang ada di belakangnya dengan demikian upacara adat sangat bertentangan dengan hukum dan Firman Tuhan (H J Silalahi, 2004).

Kelompok Kharismatik yang menolak upacara adat perkembangannya sangat pesat termasuk di Indonesia. Menurut Pdt Burju Purba dalam waktu relatif singkat sejak tahun 1960 sampai sekarang sudah memiliki anggota lebih kurang 500 juta jiwa di dunia. Menurut penelitian David Berret, umat Kristiani di dunia saat ini terdiri dari gerakan Kharismatik 44 %, Katolik 33 % dan selebihnya 22 % di luar Katolik dan Kharismatik (SIB, 7 Maret 2004). Perkembangan jumlah jemaat Kharismatik akan terus bertambah diprediksi tidak lama lagi hanya 2 (dua) komunitas kristen di dunia ini yaitu komunitas sekte Kharismatik dengan persentase lebih besar dan sekte Katolik dalam persentase yang lebih kecil. Dengan demikian apabila sekte Kharismatik konsisten menolak upacara adat, maka dalam hitungan tahun upacara adat Batak Toba tidak lagi sekedar bergeser tetapi akan tamatlah riwayatnya.

Penutup
“Seandainya” ada sisi negatif dari pelaksanaan upacara adat tetapi masih lebih banyak sisi positifnya. Oleh karena itulah masih banyak (mayoritas) etnis Batak Toba melaksanakan upacara adat. Adat yang dilaksanakan pada saat sekarang adalah berlandaskan kepada ajaran agama yang diterangi oleh Firman Tuhan. Dengan demikian adat merupakan media perwujudnyataan “kasih” seperti yang diajarkan oleh Tuhan Allah. Sesudah agama Kristen dianut mayoritas etnis Batak Toba fungsi adat sebagai mengatur kehidupan manusia untuk menciptakan keteraturan, ketentraman dan keharmonisan, dikonotasikan dalam istilah hadameon (kedamaian), bukan menciptakan ketegangan dan perpecahan di tengah-tengah masyarakat. Untuk itu seluruh komponen khususnya etnis Batak Toba berkewajiban melestarikan adat Batak Toba itu.

Kepada saudara-saudara dari kelompok sekte Kharismatik dan kelompok-kelompok lainnya yang menolak upacara adat Batak Toba perlu disadari bahwa manusia adalah mahluk sosial yang hidup saling ketergantungan antara yang satu dengan yang lain. Lebih-lebih satu rumpun keluarga yang masuk dalam sistem kekerabatan. Manusia hidup di tengah-tengah kemajemukan suku, agama, ras dan adat. Supaya hidup berdampingan rukun dan damai tidak mungkin dipaksakan suatu norma aturan dan hukum yang digariskan dengan satu sudut pandang satu agama untuk itu perlu tenggang rasa dan saling menghargai, menghindarkan kekhaosan perpecahan dan konflik.

Penulis : Drs. Brisman Silaban MSi.
(Pengamat Sosial Budaya, Dosen Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Medan/t)

Baca lagi..

gondang batak,warisan yang tidak dihargai

Oleh : Mark Kenyton

Kalau kita dengar istilah “musik Batak”, apakah yang muncul dalam pikiran kita? Istilah “Batak” berkenaan dengan sesuatu bangsa besar yang mengandung beberapa suku yang kebudayaannya dan bahasanya berhubungan, tetapi juga berbeda.

Bangsa Batak termasuk suku Batak Toba, Karo, Simalungun, Pakpak-Dairi, Mandiling, dan Angkola. Menurut kebiasaan di Indonesia, kalau kita dengar kata “Batak” kita biasanya pikir tentang kebudayaan Batak Toba. Kemudian, kecuali kita yang bekerja dalam suasana anthropolog atau etnomusikolog, istilah “musik Batak” hampir selalu disamakan dengan musik Batak Toba.

Kalau kita pikir tentang musik Batak, apakah itu yang timbul dalam akal kita? Dalam kota-kota besar seperti Medan, jawabnya hampir selalu terkait dengan musik pop Batak seperti musik trio vokal yang biasanya bisa didengar di pesta kawin, siaran radio musik Batak
, Karaoke, lapotuak dsb.
Bila musik pop Batak dipersembahkan di video biasanya di kaset karaoke, rasanya hampir selalu ada tentang kerinduan desa, Danau toba, dan gaya hidup yang sering dianggap sudah hilang. Dalam video sejenis ini, sering penyanyi dan penari pakai pakaian tradisi menari tortor di depan rumah tradisi, atau dipinggir danau toba. Dalam video ini, kadang kita melihat sekilas ansambel musik tradisi Batak Toba; Gondang Sabangunan dan Gondang Hasapi. Penglihatan sekilas ini, bagaimanpun biasanya sangat singkat sekali dan hampir tidak pernah dibolehkan mendengar suara alat-alat ini dalam gambaran kebudayaan Batak Toba yang ditengahi dan diatur oleh media. Kelompok musik tradisi Batak Toba sudah menjadi lambang kebudayaan yang dilucuti oleh konteks dan makna asli. Gara-gara kekuatan media massa dalam hidup modern ini, masyarakat Batak Toba, khususnya pemuda yang tinggal di kota menganggap musik tradisi mereka sebagai simbol kebudayaan Batak tradisi, tetapi simbol tersebut melambangkan baik pemandangan hidup maupum astetis musik yang biasanya mereka diasingkan dalam kehidupannya sehari-hari.

GONDANG
Musik tradisi masyarakat Batak Toba disebut sebagai gondang. Ada tiga arti untuk kata “gondang”: 1. Satu jenis musik tradisi Batak toba; 2. Komposisi yang ditemukan dalam jenis musik tsb. (misalnya komposisi berjudul Gondang Mula-mula, Gondang Haroharo dsb; dan 3. Alat musik “kendang”. Ada 2 ansambel musik gondang, yaitu Gondang Sabangunan yang biasanya dimainkan diluar rumah dihalaman rumah; dan gondang Hasapi yang biasanya dimainkan dalam rumah.

Gondang Sabangunan terdiri dari sarune bolon (sejenis alat tiup-“obo”), taganing (perlengkapan terdiri dari lima kendang yang dikunci punya peran melodis dengan sarune tsb), gordang (sebuah kendang besar yang menonjolkan irama ritme), empat gong yang disebut ogung dan hesek sebuah alat perkusi (biasanya sebuah botol yang dipukul dengan batang kayu atau logam) yang membantu irama.

Sarune Bolon adalah alat tiup double reed (obo) yang mirip alat-alat lain yang bisa ditemukan di Jaw, India, Cina, dsb. Pemain sarune mempergunakan teknik yang disebut marsiulak hosa (kembalikan nafas terus menerus) dan biarkan pemain untuk memainkan frase-frase yang panjang sekali tanpa henti untuk tarik nafas. Seperti disebut di atas, taganing adalah perlengkapan terdiri dari lima kendang yang dikunci dan punya peran melodis sama dengan sarune. Tangga nada gondang sabangunan disusun dalam cara yang sangat unik. Tangga nadanya dikunci dalam cara yang hampir sama (tapi tidak persis) dengan tangga nada yang dimulai dari urutan pertama sampai kelima tangga nada diatonis mayor yang ditemukan dimusik Barat: do, re, mi, fa, sol. Ini membentuk tangga nada pentatonis yang sangat unik, dan sejauh yang saya tahu, tidak bisa ditemukan ditempat lain di dunia ini. Seperti musik gamelan yang ditemukan di Jawa dan Bali, sistem tangga nada yang dipakai dalam musik gondang punya variasi diantara setiap ansambel, variasi ini bergantung pada estetis pemain sarune dan pemain taganing. Kemudian ada cukup banyak variasi diantara kelompik dan daerah yang menambah diversitas kewarisan kebudayaan ini yang sangat berharga.

Ogung terdiri dari empat gong yang masing-masing punya peran dalam struktur irama. Pola irama gondang disebut doal, dan dalam konsepsinya mirip siklus gongan yang ditemukan dimusik gamelan dari Jawa dan Bali, tetapi irama siklus doal lebih singkat.
Sebahagian besar repertoar gondang sabangunan juga dimainkan dalam konteks ansambel gondang hasapi. Ansambel ini terdiri dari hasapi ende (sejenis gitar kecil yang punya dua tali yang main melodi), hasapi doal (sejenis gitar kecil yang punya dua tali yang main pola irama), garantung (sejenis gambang kecil yang main melody ambil peran taganing dalam ansambel gondang hasapi), sulim (sejenis suling terbuat dari bambu yang punya selaput kertas yang bergetar, seperti sulim dze dari Cina), sarune etek (sejenis klarinet yang ambil peran sarune bolon dalam ansambel ini), dan hesek (sejenis alat perkusi yang menguatkan irama, biasanya alat ini ada botol yang dipukul dengan sebuah sendok atau pisau).

Tangga nada yang dipakai dalam musik gondang hasapi hampir sama dengan yang dipakai dalam gondang sabangunan, tetapi lebih seperti tangga nada diatonis mayor yang dipakai di Barat. Ini karena pengaruh musik gereja Kristen.

ASPEK-ASPEK SEJARAH
Ansambel musik yang memakai alat-alat terbuat dari perunggu di Sumatera biasanya terdiri dari perlengkapan yang punya empat sampai dua belas gong kecil,satu atau dua gong besar yang digantung, dua sampai sembilan kendang, satu alat tiup, penyari dan gembreng. Satu Ansambel yang khas jenis ini ada gondang sabangunan dari batak toba. Ansambel ini masih dipakai dalam upacara agama Parmalim. Gondang sabangunan punya peran yang penting sekali dalam upacara agama tersebut. Seperti pada catatan di atas, Ansambel ini terdiri dari 4 gong yang main siklus irama gongan yang singkat, perlengkapan lima kendang yang dikunci, satu sarune (alat tiup/ obo), satu kendang besar dan satu alat perkusi (biasanya botol) untuk memperkuatkan irama.

Musik gondang sabangunan dipakai dalam upacara agama untuk menyampaikan doa manusia ke dunia atas. Waktu musik dimainkan, pemain sarune dan pemain taganing dianggap sebagai menifestasi Batara Guru. Musik ini dipergunakan untuk berkomunikasi dengan dunia atas dan rupanya tranformasi pemain musik ini terjadi untuk memudahkan hubungan dengan dunia atas. Transformasi paradigma ini di mitos Batak sangat mirip yang ada di Bali menunjuk bukti tidak langsung bahwa ada hubungan purbakala diantara kebudayaan Batak Toba dan kebudayaan Bali. Biarpun hal ini tidak dapat dibuktikan, ada kemungkinan yang berhubungan dengan sejarah, karena kedua kebudayaan masing-masing berhubungan paling sedikit sebagai batas keluar kerajaan majapahit. Bersangkut dengan konsep kosmos bertingkat tiga ada konsep tentang faktor mediasi; pohon kosmos atau pohon hidup. Pohon mitos ini yang menghubungkan tiga dunia punya hubungan simbolis dengan pohon Bodhi dalam agama Budha, kayon di wayang Bali dan Jawa, dan barangkali konsep ini lebih tua dari agama Budha dan agama Hindu. Dalam konsepsi Batak peran musik mirip peran pohon kosmos; musik juga menguhubungkan dunia masing-masing. Melalui musik gondang batasan diantara dunia dapat ditembus, doa manusia dapat sampai kepada debata, dan berkah debata dapat sampai kepada manusia.

Dengan kedatangan agama Kristen ke Tanah Batak, pokok kebudayaan Batak sangat diubah sekali. Interaksi dengan agama baru ini dan nilai-nilai barat menggoncangkan kebudayaan tradisi batak toba sampai ke akarnya. Menurut gereja Kristen musik gondang berhubungan dengan kesurupan, pemujaan roh nenek moyang, dan agama Batak asli, terlalu bahaya untuk dibolehkan terus dimainkan lagi. Pada awal abad kedua puluh Nommensen minta pemerintah kolonial Belanda untuk melarang upacara bius dan musik gondang. Larangan ini bertahan hampir empat puluh tahun sampai pada tahun 1938. Itu merupakan suatu pukulan utama untuk agama tradisi Batak Toba dan musik gondang yang sangat terkait dengan agama tsb.

KONDISI MODERN
Migrasi batak ke kota mulai di tahun 1910 tapi hanya setelah Indonesia merdeka migrasi tersebut tambah besar di thn 50-an. Migrasi ke kota menyebabkan interaksi dengan suku lain di kota-kota Indonesia yang penduduknya sebagian besar beragama Islam. Dalam lingkungan multi etnis ini banyak orang batak ketemu rasa identitas batak yang menjadi lebih kuat terhadap suku lain. Tetapi banyak orang batak pula dalam proses menyatukan diri dengan masyarakat Indonesia meninggalkan banyak aspek bahasanya, kebudayaannya, dan tradisinya. Disisi lain ada bagian orang batak kota yang menjadi lebih sadar tentang kepentingan identitas masyarakat batak dan berusaha untuk menegaskan rasa batak dan memberikan dana untuk upacara tugu dan perayaan lain di desanya.

Ada orang batak kota yang sudah menjadi makmur yang sering membiayai upacara. Mereka membawa estetis kosmopolitan yang adakalanya melawan estetis tradisi. Identifikasi dengan nilai-nilai mengenai kemoderenan, kemajuan, pendidikan dan kemakmuran sering diekspresikan dengan afinitas kepada apa yang dianggap moderen. Misalnya sekarang di pesta atau upacara seolah-olah musik grup keyboard yang main poco-poco lebih laris dan dihargai daripada dengan musik gondang yang lama punya peran yang sangat penting dalam upacara adat. Pesta kawin yang moderen tidak lagi dianggap lengkap tanpa musik keyboard atau musik tiup yang main lagu pop batak atau pop barat, sebaliknya mungkin ansambel musik gondang dianggap kampungan oleh orang kota kecenderungan mengindentifikasi dengan modernitas tidak salah.

Kita semua harus hidup dalam dunia modern dan harus menghadapi media global dan periklanan, suka atau tidak makin bertambah mempengaruhi pikiran dan selera setiap orang. Kita tidak mampu tinggal di masa dahulu dan melarikan diri dari kemajuan. Tetapi, ada ancaman bahwa dalam generasi ini kita dapat menghilangkan sejenis musik tradisi yang disebut gondang, yang sampai akhir-akhir ini adalah manifestasi kebudayaan batak toba yang sangat penting baik dalam bidang masyarakat maupun bidang rohani.

KESIMPULAN
Sebagai mahasiswa etnomusikologi (pelajaran musik daerah), saya baru diperkenalkan kepada musik gondang batak toba tahun 1993 di Universitas Washington, Seattle, AS. Saya langsung jatuh cinta dengan musik ini yang indah dan sangat unik. Melodi-melodi yang kompleks sekali dimainkan oleh sarune bolon dan taganing berjalin dengan irama gondang, ogung, dan hesek dalam cara yang hipnotis, seperti jiwa saya dipanggil musik ini. Ternyata musik ini dimaksud pas untuk tujuan ini. Saya didorong oleh dua kawan etnomusikologis batak untuk mempelajari musik ini yang luar biasa indah dan jarang didengar di luar Sumatera Utara.

Susah hati saya menyaksikan kemunduran musik gondang. Masyarakat batak adalah masyarakat yang bangga dan bersemangat yang nilai kebudayaan dan identitas. Kemudian, menurut saya sangat membingungkan sekali warisan luar biasa ini bisa ditinggalkan. Kenapa musik tradisi Bali dan Jawa masih hidup, walaupun gondang batak sekarang diambang kepunahan. Apakah kebudayaan Bali atau Jawa lebih unggul daripada kebudayaan batak? Saya rasa tidak.

Dibutuhkan langkah mengorganisasikan program untuk mempelajari kebudayaan tradisi batak, tujuannya dokumentasi, pelestarian, pendidikan, dan promosi kebudayaan tradisi batak. Bergabung dalam penelitian dan dokumentasi yang sudah dilakukan untuk mengusahakan melawan erosi kebudayaan tradisi yang menonjol sekali, khusus dalam bidang seni. Saya menganjurkan memperhatikan seni musik, karena ini bidang saya, tapi keprhatinan saya mengenai semua aspek-aspek kebudayaan. Karena tekanan modernisasi, globalisasi, media massa, dan daya tarik dunia barat kebudayaan tradisi dan khusus musik gondang terancam hilang. Kehilangan musik gondang yang disebut banyak orang sudah terjadi, tentu saja tragis sekali.

Upacara dan pesta yang dulu berperan sebagai tempat penampilan musik tradisi semakin kurang karena orang lebih suka grup keyboard atau trio vokal yang lebih mencerminkan modernitas dan kejauhan dari semua hal yang disebut kampungan. Musik pop batak yang tentu juga adalah identitas etnis suku batak toba, biasanya ada musik country dan balada pop tua Amerika yang memakai bahasa batak. Musiknya tidak ada hubungan kuat dengan masyarakat batak, kecuali sekali-sekali sebagai contoh kebudayaan dalam proses perubahan, tapi betapa tragis kalau musik pop batak ini menggantikan musik gondang yang merupakan warisan berharga tapi kurang dihargai.

Semakin lama semakin banyak pemain gondang meninggal dunia dan pemain yang lebih muda didorong oleh hal-hal estetis dan ekonomis untuk main musik yang lebih laris. Kemungkinan muncul bahwa musik gondang akan hilang sebahagian besar atau semuanya. Ini tidak boleh diabaikan. Ada kemungkinan besar bahwa gondang hanya akan bertahan hidup dalam konteks agama Parmalim yang masih mempergunakan musik ini dalam konteks aslinya. Mereka mempergunakan musik nenek moyangnya untuk menghormati nenek moyang tsb dan untuk menyampaikan doa ke Debata Mulajadi Nabolon.

Betapa tragis kalau dalam hidup warisan batak berbentuk musik indah ini, yang punya sejarah sangat lama, berharga dan sangat unik di dunia, akan punah. Dalam dunia barat kami sudah lama lupa banyak tradisi, dan ada kecenderungan untuk mencari yang sakral dari kebudayaan lain, saya bertemu dengan musik sakral dan luar biasa di Sumatera Utara, tetapi musik ini mungkin akan punah karena masyarakat yang melahirkannya tidak lagi cukup perduli. (Penulis adalah kandidat doktor di Universitas Washington Seatle, AS)

Baca lagi..

upacara adat dan agama

Banyak perilaku dan hubungan antaragama yang aku perhatikan, terutama di Indonesia. Agama mempengaruhi budaya dan adat manusia. Atau juga sebaliknya: adat dan budaya mempengaruhi agama yang diyakini seseorang. Kalau aku bandingkan agama islam di Indonesia dengan di Jerman perbedaannya terletak pada budaya.

Di jawa misalnya, Islam terpengaruh oleh budaya Jawa juga. Sedangkan di Jerman, Islam dipengaruhi budaya Turki. Islam di Arab juga dipengaruhi budaya Arab, Islam di China dipengaruhi budaya China. Ada semacam sinkretisme dalam kehidupan beragama, dan ini hal yang sangat wajar terjadi. Kewajaran ini karena agama perlu memasuki wilayah kehidupan manusia yang tinggal di tempat tertentu dan budaya tertentu, agama juga perlu beradaptasi dengan lingkungan untuk memperkaya budaya bukannya menghilangkan budaya. Tentunya, budaya yang buruk yang tidak menemukan titik temu perlu dihilangkan. Proses saling mempengaruhi antara agama dan budaya terjadi di tubuh individu, atau orang pada umumnya. Ini yang menentukan perilaku keberagamaan seseorang sehingga orang itu menjadi unik.

Aku hidup di Jawa dengan orang tua Islam - Kristen, yang tentunya membawa pengaruh ganda dalam hal keberagamaan. Aku mengakui Islam sebagai agama, begitu juga Kristen. Aku percaya bahwa keduanya membawa kepada moralitas yang baik meski bernaung di bawah Tuhan yang berbeda, kitab yang berbeda, tempat ibadah yang berbeda, nabi yang berbeda dan beberapa infrastruktur keyakinan yang berbeda. Tapi aku adalah sinkretisme dua agama: Islam dan Kristen. Meski belakangan ini aku memiliki kecenderungan Kristen, tapi aku masih memiliki pengertian (dan sedikit keyakinan) mengenai Islam, dan Jawa juga. Aku merasa kaya dengan sinkretisme itu, dan bagiku, Islam - Jawa - Kristen - Jerman bisa hidup dalam tubuhku yang unik dan menemukan jati dirinya dalam setiap tindakan dan pemikiranku.

Yang tidak aku mengerti itu adalah bahwa agama menjadi semacam tembok yang kokoh sehingga dua orang yang pada dasarnya saling mencintai mesti berpisah (atau terpisah). Ini mengesankan bahwa agama yang berbeda cenderung memberikan perbedaan juga dalam hal moralitas dan nilai-nilai. Bisa dipahami bahwa dua orang yang berbeda agama tentunya melakukan ritual yang berbeda juga; keluarganya juga memiliki resistansi untuk bergabung dengan keluarga yang beda agama. Tapi jika dilihat lebih dalam, dan dengan keyakinan bahwa agama itu adalah penuntun ke moralitas yang baik, maka tanpa melihat "seragam" agama, orang bisa bersatu dan memperkaya hubungan; bukan malah mereduksi hubungan. Ini agak aneh jika kita menggunakan kerangka pikir yang lebih esensial. Kalau memikirkan cuma agama sebagai sebuah ritual yang pastinya berbeda satu agama dengan agama yang lain maka agama memang mengundang perbedaan. Tapi sekali lagi, agama itu hak yang paling individu menurutku. Ada orang yang menggunakannya sebagai pembeda, ada juga yang menggunakannya sebagai pemerkaya hubungan. Ada juga yang melihatnya sebagai satu dari sekian ribu nilai-nilai moralitas, dan dianggapnya sebagai ideologi. Hmmm ... aku sedang memikirkan aku yang mana: mungkin sebagai pemersatu.

Baca lagi..

antara budaya dan agama

Aku mendapat cerita dari teman lama. Dia bercerita tentang hubungan dia dengan pacarnya dulu. Mereka putus. Aku bertanya ''Kenapa kok putus?''. Dia menjawab ''Karena beda agama Jul..''. Aku nggak mengerti. Hanya karena dia (ceweknya) maunya kawin di kuil (Budha), akhirnya hubungan kedua orang itu putus. Tidak ada kesepakatan dalam hal kesatuan agama. Ini rumit.

Banyak perilaku dan hubungan antaragama yang aku perhatikan, terutama di Indonesia. Agama mempengaruhi budaya dan adat manusia. Atau juga sebaliknya: adat dan budaya mempengaruhi agama yang diyakini seseorang. Kalau aku bandingkan agama islam di Indonesia dengan di Jerman perbedaannya terletak pada budaya. Di jawa misalnya, Islam terpengaruh oleh budaya Jawa juga. Sedangkan di Jerman, Islam dipengaruhi budaya Turki. Islam di Arab juga dipengaruhi budaya Arab, Islam di China dipengaruhi budaya China. Ada semacam sinkretisme dalam kehidupan beragama, dan ini hal yang sangat wajar terjadi. Kewajaran ini karena agama perlu memasuki wilayah kehidupan manusia yang tinggal di tempat tertentu dan budaya tertentu, agama juga perlu beradaptasi dengan lingkungan untuk memperkaya budaya bukannya menghilangkan budaya. Tentunya, budaya yang buruk yang tidak menemukan titik temu perlu dihilangkan. Proses saling mempengaruhi antara agama dan budaya terjadi di tubuh individu, atau orang pada umumnya. Ini yang menentukan perilaku keberagamaan seseorang sehingga orang itu menjadi unik.

Aku hidup di Jawa dengan orang tua Islam - Kristen, yang tentunya membawa pengaruh ganda dalam hal keberagamaan. Aku mengakui Islam sebagai agama, begitu juga Kristen. Aku percaya bahwa keduanya membawa kepada moralitas yang baik meski bernaung di bawah Tuhan yang berbeda, kitab yang berbeda, tempat ibadah yang berbeda, nabi yang berbeda dan beberapa infrastruktur keyakinan yang berbeda. Tapi aku adalah sinkretisme dua agama: Islam dan Kristen. Meski belakangan ini aku memiliki kecenderungan Kristen, tapi aku masih memiliki pengertian (dan sedikit keyakinan) mengenai Islam, dan Jawa juga. Aku merasa kaya dengan sinkretisme itu, dan bagiku, Islam - Jawa - Kristen - Jerman bisa hidup dalam tubuhku yang unik dan menemukan jati dirinya dalam setiap tindakan dan pemikiranku.

Yang tidak aku mengerti itu adalah bahwa agama menjadi semacam tembok yang kokoh sehingga dua orang yang pada dasarnya saling mencintai mesti berpisah (atau terpisah). Ini mengesankan bahwa agama yang berbeda cenderung memberikan perbedaan juga dalam hal moralitas dan nilai-nilai. Bisa dipahami bahwa dua orang yang berbeda agama tentunya melakukan ritual yang berbeda juga; keluarganya juga memiliki resistansi untuk bergabung dengan keluarga yang beda agama. Tapi jika dilihat lebih dalam, dan dengan keyakinan bahwa agama itu adalah penuntun ke moralitas yang baik, maka tanpa melihat "seragam" agama, orang bisa bersatu dan memperkaya hubungan; bukan malah mereduksi hubungan. Ini agak aneh jika kita menggunakan kerangka pikir yang lebih esensial. Kalau memikirkan cuma agama sebagai sebuah ritual yang pastinya berbeda satu agama dengan agama yang lain maka agama memang mengundang perbedaan. Tapi sekali lagi, agama itu hak yang paling individu menurutku. Ada orang yang menggunakannya sebagai pembeda, ada juga yang menggunakannya sebagai pemerkaya hubungan. Ada juga yang melihatnya sebagai satu dari sekian ribu nilai-nilai moralitas, dan dianggapnya sebagai ideologi. Hmmm ... aku sedang memikirkan aku yang mana: mungkin sebagai pemersatu.

Baca lagi..