Selasa, 18 September 2007

antara budaya dan agama

Aku mendapat cerita dari teman lama. Dia bercerita tentang hubungan dia dengan pacarnya dulu. Mereka putus. Aku bertanya ''Kenapa kok putus?''. Dia menjawab ''Karena beda agama Jul..''. Aku nggak mengerti. Hanya karena dia (ceweknya) maunya kawin di kuil (Budha), akhirnya hubungan kedua orang itu putus. Tidak ada kesepakatan dalam hal kesatuan agama. Ini rumit.

Banyak perilaku dan hubungan antaragama yang aku perhatikan, terutama di Indonesia. Agama mempengaruhi budaya dan adat manusia. Atau juga sebaliknya: adat dan budaya mempengaruhi agama yang diyakini seseorang. Kalau aku bandingkan agama islam di Indonesia dengan di Jerman perbedaannya terletak pada budaya. Di jawa misalnya, Islam terpengaruh oleh budaya Jawa juga. Sedangkan di Jerman, Islam dipengaruhi budaya Turki. Islam di Arab juga dipengaruhi budaya Arab, Islam di China dipengaruhi budaya China. Ada semacam sinkretisme dalam kehidupan beragama, dan ini hal yang sangat wajar terjadi. Kewajaran ini karena agama perlu memasuki wilayah kehidupan manusia yang tinggal di tempat tertentu dan budaya tertentu, agama juga perlu beradaptasi dengan lingkungan untuk memperkaya budaya bukannya menghilangkan budaya. Tentunya, budaya yang buruk yang tidak menemukan titik temu perlu dihilangkan. Proses saling mempengaruhi antara agama dan budaya terjadi di tubuh individu, atau orang pada umumnya. Ini yang menentukan perilaku keberagamaan seseorang sehingga orang itu menjadi unik.

Aku hidup di Jawa dengan orang tua Islam - Kristen, yang tentunya membawa pengaruh ganda dalam hal keberagamaan. Aku mengakui Islam sebagai agama, begitu juga Kristen. Aku percaya bahwa keduanya membawa kepada moralitas yang baik meski bernaung di bawah Tuhan yang berbeda, kitab yang berbeda, tempat ibadah yang berbeda, nabi yang berbeda dan beberapa infrastruktur keyakinan yang berbeda. Tapi aku adalah sinkretisme dua agama: Islam dan Kristen. Meski belakangan ini aku memiliki kecenderungan Kristen, tapi aku masih memiliki pengertian (dan sedikit keyakinan) mengenai Islam, dan Jawa juga. Aku merasa kaya dengan sinkretisme itu, dan bagiku, Islam - Jawa - Kristen - Jerman bisa hidup dalam tubuhku yang unik dan menemukan jati dirinya dalam setiap tindakan dan pemikiranku.

Yang tidak aku mengerti itu adalah bahwa agama menjadi semacam tembok yang kokoh sehingga dua orang yang pada dasarnya saling mencintai mesti berpisah (atau terpisah). Ini mengesankan bahwa agama yang berbeda cenderung memberikan perbedaan juga dalam hal moralitas dan nilai-nilai. Bisa dipahami bahwa dua orang yang berbeda agama tentunya melakukan ritual yang berbeda juga; keluarganya juga memiliki resistansi untuk bergabung dengan keluarga yang beda agama. Tapi jika dilihat lebih dalam, dan dengan keyakinan bahwa agama itu adalah penuntun ke moralitas yang baik, maka tanpa melihat "seragam" agama, orang bisa bersatu dan memperkaya hubungan; bukan malah mereduksi hubungan. Ini agak aneh jika kita menggunakan kerangka pikir yang lebih esensial. Kalau memikirkan cuma agama sebagai sebuah ritual yang pastinya berbeda satu agama dengan agama yang lain maka agama memang mengundang perbedaan. Tapi sekali lagi, agama itu hak yang paling individu menurutku. Ada orang yang menggunakannya sebagai pembeda, ada juga yang menggunakannya sebagai pemerkaya hubungan. Ada juga yang melihatnya sebagai satu dari sekian ribu nilai-nilai moralitas, dan dianggapnya sebagai ideologi. Hmmm ... aku sedang memikirkan aku yang mana: mungkin sebagai pemersatu.

Tidak ada komentar: