Selasa, 18 September 2007

Refleksi interaksi gereja HKBP dengan budaya Batak dan Indonesia modern

Oleh: Pdt Daniel T.A. Harahap MTh
A. TIGA PILIHAN SIKAP
Dari perjalanan sejarah umat Allah, dalam PL atau PB, kita tahu sedikit-dikitnya ada 3 (tiga) pilihan sikap yang bisa diambil oleh gereja terhadap budaya atau masyarakat sekitar:

Pertama: larut atau inklusif. Gereja melakukan kompromi, adaptasi dan identifikasi total, menghilangkan semua identitas atau ciri khasnya untuk menjadi persis sama dengan budaya dan masyarakat sekitarnya. Batas-batas antara gereja dan budaya hilang sama sekali dan keduanya tidak bisa dibedakan. Sikap dan nilai yang dianut gereja ekuivalen atau sama-sebangun dengan apa yang dianut masyarakat sekitarnya. Memakai ungkapan bahasa Batak: eme na masak digagat ursa, aha na masa ba i na niula. Berhubung gereja melebur dengan budaya dan masyarakat maka praktis tidak ada ketegangan antara keduanya. Gereja hidup aman dan tenteram di tengah-tengah masyarakat sebagai bagian dari masyarakat. Dalam posisi ini gereja menjalankan fungsinya sebagai sub-ordinat atau perpanjangan tangan dari budaya atau kelompok masyarakat yang dominan, rejim yang sedang berkuasa atau kelompok ekonomi. Prinsip, nilai dan sikap gereja berubah-ubah sesuai dengan kondisi dan situasi masyarakat.



Kedua: sikap eksklusif. Disini gereja justru mengambil sikap sebaliknya, yaitu menutup dirinya rapat-rapat terhadap budaya dan masyarakat. Dengan alasan untuk menjaga kemurnian iman atau sangat sibuk menyongsong kedatangan Tuhan, gereja membangun kehidupannya bagai semacam pulau terasing, ghetto atau menara yang terpisah dari dunia. Kontak antara gereja dengan budaya dan masyarakat diminimalisasi. Gereja menjauhkan diri dari dan sama sekali tidak berminat terhadap persoalan-persoalan masyarakat dan budaya. Agenda gereja benar-benar berbeda dengan agenda masyarakat. Gereja mengambil jarak yang sangat jauh, mencurigai atau memusuhi budaya dan masyarakat, begitu juga sebaliknya. Konsekuensi logisnya ketegangan dan potensi konflik antara gereja dengan budaya pun sangat tinggi. Gereja dan budaya hidup dalam status quo atau semacam gencatan senjata.


Namun karena umumnya warga gereja sehari-hari hidup dalam masyarakat, dan tidak dapat melepaskan diri sepenuhnya dari dunia yang dianggap jahat dan kotor itu (kecuali dengan jalan membentuk kibbutz, biara, atau bunuh diri massal) maka akibatnya ada warga gereja praktis hidup di dalam dua dunia yang berbeda dan bermusuhan. Yaitu dunia masyarakat-budaya dan dunia gereja. Hari Minggu mereka seolah-olah di surga dan hari Senin sampai Sabtu mereka nyata-nyata di dunia.



Ketiga: sikap kritis dan dinamis. Pilihan ketiga bagi gereja adalah tidak larut namun tidak eksklusif, sebaliknya mengembangkan sikap kritis dan dinamis. Artinya gereja sadar betul bahwa ia hidup di dalam masyarakat dan budaya, bukan di ruang vakum dan juga belum di surga. Sebab itu gereja secara sengaja dan intensif berinteraksi dengan masyarakat dan budaya. Namun, gereja juga sadar bahwa ia memiliki tugas khusus dari Allah di dunia ini yang membuatnya tidak boleh persis serupa dengan dunia (Roma 12:2).





Gereja membangun hubungan yang sangat kritis dan dinamis dengan budaya. Gereja secara sadar membiarkan ketegangan antara keharusan menjadi sama dan atau harus berbeda dengan budaya. Jika gereja seratus persen sama dengan dunia maka gereja kehilangan identitasnya dan missinya. Sebaliknya jika gereja seratus persen berbeda dengan dunia maka gereja menjadi “orang asing” atau “musuh” budaya itu. Dalam ketegangan yang kreatif inilah gereja mengembangkan teologi hubungan gereja dengan budaya. Ia merefleksikan panggilan imannya dalam konteks budaya, sekaligus pada saat yang sama gereja Gereja berusaha untuk ikut menggarami dan menerangi budaya itu.




Jika diterapkan dalam kasus gereja HKBP (yang keanggotaannya mayoritas Batak) maka pertanyaannya adalah: bagaimanakah gereja-gereja tersebut dapat menghayati imannya dalam konteks budaya Batak yang masih “dianut” oleh anggota-anggota gereja itu? Hal-hal apakah dalam budaya Batak (terutama sekarang dan masa depan) yang harus digali dan dikembangkan oleh oleh gereja-gereja untuk merumuskan iman, ajaran, ibadah dan kesaksian, pelayanan dan kelembagaannya? Selanjutnya apakah yang dapat disumbangkan oleh gereja-gereja untuk memperkuat daya resistensi, daya survival, dan transformasi kehidupan budaya dan masyarakat Batak yang sedang menjadi bagian bangsa-negara Indonesia dan masyarakat global? Apakah yang membedakan gereja daripada persekutuan budaya?




B. PILIHAN SIKAP KRITIS

Berabad-abad lamanya suku bangsa Batak hidup terisolasi di Tanah Batak, daerah bergunung-gunung di pedalaman Sumatera Bagian Utara. Pada waktu yang ditentukanNya Allah mengirim hamba-hambaNya yaitu para missionaris dari Eropah untuk memperkenalkan INJIL itu kepada kakek-nenek (ompung) yang beragama Batak itu. Mereka pun menerima Tuhan Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruslamat. Mereka pun beriman kepada Allah tritunggal (Bapa, Anak dan Roh) dan tidak lagi menyembah dewa-dewa Batak dan roh-roh nenek moyang yang mati. Mereka berpindah dari gelap kepada terang, dari keterbelakangan kepada kemajuan, dari kematian kepada kehidupan.



Namun penerimaan kepada Kristus sebagai Tuhan dan Juruslamat itu tidaklah membuat warna kulit kakek-nenek kita berubah dari “sawo matang” menjadi “bule”, atau mengubah rambut mereka dari hitam menjadi pirang. Mereka tetap petani padi dan bukan gandum, memakan nasi dan bukan kentang, hidup di sekitar danau Toba dan bukan di tepi sungai Rhein. Penerimaan Kristus juga tidak mengubah status kebangsaan mereka dari Batak menjadi Jerman. Artinya setelah dibabtis dalam nama Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus kakek-nenek kita tetaplah tinggal sebagai orang Batak dan hidup sebagai masyarakat agraris sederhana. Para missionaris juga tidak berusaha mencabut kakek-nenek kita yang sudah Kristen itu dari kebatakannya dan kehidupan nyatanya. Buktinya mereka berusaha bersusah-payah menterjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Batak, mendorong mereka beribadah dalam Bahasa Batak (bukan Jerman atau Yahudi atau Yunani), membangun struktur gereja HKBP mengikuti peta budaya dan masyarakat Batak, dan membiarkan anggota HKBP tetap berpartisipasi dalam perayaan atau horja.


Sebagai Kristen rupanya kita tidak harus berbahasa atau berbudaya lain. Tidak ada budaya atau bahasa tertentu yang lebih unggul mengantar kita mendekat Kristus (Gal 3:28). Artinya tidak ada juga bahasa (budaya) yang menjadi kendala atau penghalang kita mendekati Kristus. Firman telah menjadi manusia sama dengan kita dan tinggal di antara kita (Yoh 1:14). Itu dapat diartikan bahwa Firman itu juga telah menjadi manusia Batak dan hidup diantara manusia Batak juga. Sebab itu tidak ada keragu-raguan bagi kita menyapa, memuji dan berdoa kepada Allah dengan bahasa dan budaya Batak. Mengapa? Sebab Kristus telah lebih dulu datang menyapa kita dengan bahasa Batak yang sangat kita pahami dan hayati.


Persoalan sesungguhnya adalah bagaimana hubungan antara iman dan budaya (batak) itu. Dalam Matius 5:13-16 Tuhan Yesus menyuruh orang Kristen untuk menggarami dan menerangi dunia. Itu artinya Tuhan Yesus menyuruh kita untuk mempengaruhi dan mewarnai realitas ekonomi, sosial, politik dan budaya yang ada. Karena itu sebagai orang Kristen kita tidak harus memusuhi atau menjauhkan diri dari budaya Batak, namun sebaliknya menggarami dan meneranginya dengan firman, kasih dan kebenaran.


Agar dapat menggarami dan menerangi budaya Batak itu tentu saja kita tidak dapat bersikap ekstrim: menolak atau menerima absolut. Kita sadar sebagai orang Kristen kita hanya mau tunduk sepenuhnya kepada Kristus. Sebaliknya kita juga sebagai kristen tidak boleh mengasingkan diri dari dunia (budaya). Lantas bagaimana? Disinilah pentingnya sikap kreatif dan kritis dalam membangun hubungan iman dan budaya itu. Mana yang baik dan mana yang buruk? Mana yang relevan dan mana yang tidak relevan? Mana yang harus dikembangkan dan mana yang harus diubah?






C. KAUM BATAK MISKIN KOTA: PARAMETER KESUNGGUHAN INTERAKSI HKBP DENGAN BUDAYA BATAK

Daripada sibuk membangga-banggakan (meratapi?) masa silam budaya dan masyarakat Batak itu mungkin jauh lebih baik kita memahami kondisi nyata dan mencoba memetakan masalah yang sedang dihadapi oleh budaya Batak itu. Menurut saya salah satu faktor yang harus diperhitungkan untuk merumuskan hubungan iman Kristen dan budaya Batak masa depan itu adalah soal kemiskinan Tapanuli dan orang-orang Batak miskin di kota.


Mungkin kita sepakat bahwa masyarakat yang menetap di Tapanuli masih sangat miskin dan terbelakang, dibanding saudara-saudaranya yang tinggal di kota. Untuk itu kita mungkin harus mengadakan penelitian sungguh-sungguh: apakah dampak kemiskinan di jantung Tapanuli itu bagi perubahan budaya Batak? Bagaimanakah konsepsi budaya Batak sendiri tentang kemiskinan? Selanjutnya: sejauhmanakah faktor kemiskinan itu mempengaruhi HKBP (termasuk konflik-nya)?


Jumlah orang Batak yang merantau ke kota-kota di luar Tapanuli sangat siginifikan. Sebagian dari mereka berhasil dan makmur. Namun sebagian besar “kalah” di tengah-tengah persaingan dan terlempar ke pinggiran kota sebagai masyarakat marjinal. Pengamatan saya, orang-orang Batak miskin kota ini tidak terjangkau oleh apa yang dinamakan “ritus budaya Batak” yang dicoba dijelmakan oleh lembaga-lembaga marga lewat ritus-ritus konsumtif di gedung-gedung maupun oleh HKBP lewat ritus-ritusnya. Banyaknya orang Batak-Kristen atau anggota HKBP yang miskin terlibat dalam kriminalitas memberikan isyarat kuat bahwa orang Batak miskin di kota ini benar-benar diluar jangkauan “punguan-punguan marga” Batak maupun HKBP. Karena itu jika kita ingin merumuskan hubungan gereja atau iman dan budaya Batak maka, pertanyaan yang utama yang mutlak harus kita gumuli: bagaimanakah sesungguhnya teologi kita terhadap kemiskinan Tapanuli dan komunitas orang Batak miskin di kota? Bagaimanakah konsepsi budaya Batak itu sendiri terhadap kemiskinan di Tapanuli maupun di kota-kota besar?


Menurut penulis HKBP ditantang untuk membangun teologi solidaritas dengan orang-orang miskin desa dan kota ini. Sebagai gereja Tuhan, dan sebagaimana diteladankan oleh Tuhan yang diimaninya, gereja HKBP harus setia hadir dan berada di tengah-tengah kemiskinan Tapanuli dan orang-orang Batak miskin di kota. HKBP dengan alasan apapun tidak bisa menutup mata dan telinga hatinya terhadap realitas politik-ekonomi ini yang menyebabkan kemiskinan warganya di Tapanuli maupun di kota-kota besar. Sebab itu bersama-sama dengan warganya yang miskin itu HKBP harus berjuang mengatasi kemiskinan itu dan membangun kehidupan yang lebih sejahtera dan manusiawi di dunia ini. Kesaksian, pelayanan, persekutuan, pendidikan dan ibadah HKBP karena itu juga sebagian harus diterjemahkan sebagai aksi dan refleksi orang-orang beriman agar bisa bebas dan keluar dari kemiskinan.



Lantas bagaimana dengan punguan-punguan marga atau parsahutaon Batak? Menurut penulis, juga sudah waktunya kita mendorong masyarakat Tapanuli dan komunitas-komunitas orang Batak miskin di kota untuk membangun persekutuan (punguan) dan organisasinya sendiri sebagai alat perjuangan untuk keluar dari kemiskinan dan ketidakadilan sosial tersebut. Punguan parsahutaon, wijk atau lungguk, atau organisasi orang Batak-Kristen di suatu wilayah atau lokasi tertentu, karena itu perlu didorong menjadi suatu organisasi masyarakat yang memiliki dampak perbaikan sosial. Begitu juga adalah tanggungjawab kita untuk mendorong para tukang tambal ban, supir dan kernet, pedagang asongan yang berasal dari Batak untuk mengorganisir dirinya dengan semangat keterbukaan dan persaudaraan dengan orang-orang miskin yang berasal dari suku atau agama lain. Itu artinya punguan-punguan marga juga ditantang untuk meninjau ulang agendanya, sehingga tidak larut dalam persoalan-persoalan remah atau tetek-bengek di sekitar ritus domestik (kelahiran, pernikahan, kematian), namun membuka hati dan pikiran kepada persoalan kemiskinan warganya. Sebagaimana pada jaman dahulu adat Batak mencakup penanaman padi, perang dan pasar, maka pada masa sekarang pun adat Batak harus mencakup ekonomi, sosial dan politik, dan bukan sekedar ritus domestik atau sekitar rumah tangga (kelahiran, pernikahan dan kematian).










D. MENCARI KATA-KATA KUNCI INTERAKSI INJIL, BUDAYA BATAK DAN MODERNITAS

Menurut penulis pergumulan kita di HKBP tentang Injil dan budaya Batak harus ditempatkan dalam konteks Indonesia dan modernitas (globalisasi). Pertanyaannya adalah: dapatkah kita pada saat yang sama Batak, Kristen, Indonesia dan moderen sekaligus? Dapatkah kita menjadi 100% Batak, 100% Kristen, 100% Indonesia dan 100% moderen? Pertanyaan ini menantang kita untuk menggali nilai-nilai apa yang sesuai dengan kebatakan, kekristenan, keindonesiaan dan kemodernan kita. Menurut penulis minimal ada 4 (empat) nilai yang sangat penting, yang sesuai dengan ke-empat konteks itu





1. DESENTRALISASI (MARSERAK, MANOSOR, MANJAE, MAMULIK)

Salah satu tema yang kerap kali dibanggakan oleh mereka yang menyebut dirinya “pengetua” adat Batak adalah konsepsi hasadaon (kesatuan) dalam budaya Batak. Begitu banyak umpama dan umpasa yang menyinggung soal indahnya hasadaon ini. Misalnya: aek godang aek laut, dos ni roha umbahen na saut, masiamin-aminan songon lampak ni gaol masitungkol-tungkolan songon suhat di robean, rap mangangkat tu ginjang rap manimbung tu toru, hata mamunjung hata lalaen hata natorop sabungan ni hata. Namun kita harus kritis memahami umpama ini agar tidak terkecoh. Pada hakikatnya budaya Batak justru sangat desentralistis (memiliki banyak pusat atau sentrum), sentrifugal (bergerak menjauhi pusat), bahkan mungkin lebih tepat disebut sporadis (membelah, memecah menjadi banyak). Itu nampak dalam penghayatan orang Batak tentang kampung huta atau lumban yang sangat independen dan otonom. Seperti sering dikatakan, tiap kampung Batak adalah bagaikan republik sendiri. Jika kampung semakin besar maka akan memecah atau membelah lagi melalui proses manjaemanosor (membuka kampung yang baru) atau mamulik (memisahkan diri). Oleh sebab itu orang Batak (setidaknya sampai terbentuknya HKBP (?) atau negara kesatuan RI) tidak pernah menghayati suatu pemerintahan pusat yang menguasai seluruh dimensi kehidupan rakyat.


Apa hubungannya dengan gereja HKBP? Kita dapat belajar bahwa membangun suatu gereja HKBP (beranggotakan orang Batak) yang sangat sentralistis dan hirarkis adalah sangat bertentangan dengan budaya Batak yang cenderung desentralistis, sentrifugal atau sporadis ini. HKBP sebaliknya mungkin lebih cocok dibangun dengan semangat asosiasi atau federasi (perserikatan).


Pola pengembangan jemaat-jemaat dan ressort-ressort HKBP ini sangat mirip dengan pola pengembangan kampung atau huta Batak. Tiap jemaat atau ressort selalu mengalami proses membelah dan memecah, baik dikarenakan jumlah anggota yang semakin banyak, atau disebabkan konflik, atau keinginan untuk mandiri (manjae). Konsepsi kesatuan HKBP itu juga, menurut penulis, mirip benar dengan pola kesatuan kampung-kampung atau marga-marga Batak. Sebagaimana kampung dan marga Batak otonom dan hanya diikat oleh nilai-nilai religi yang sama dan ikatan-ikatan kekerabatan dan perjanjian, sebenarnya pada kenyataannya jemaat-jemaat dan ressort-ressort HKBP itu juga otonom dan hanya diikat oleh nilai yang sama (cinta HKBP?). Kekuasaan Kantor Pusat atau Pearaja pada prakteknya atau de facto sangat terbatas kepada jemaat-jemaat dan ressort-ressort. Selain menetapkan Almanak, Buku Ende, mutasi pendeta, dan menentukan persembahan ke pusat, praktis Kantor Pusat tidak bisa berbuat banyak mengintervensi kehidupan jemaat-jemaat atau ressort-ressort. Otonomi jemaat dan resort ini nampak jelas dalam hal keuangan. Hampir tidak ada jemaat atau resort yang tergantung secara finansial kepada Pusat. Boleh dikatakan tidak ada jemaat HKBP yang membangun gedung gerejanya dengan bantuan uang Kantor Pusat. Sebab itu pemeriksaan keuangan oleh Pusat dan Distrik kepada jemaat-jemaat selalu menimbulkan sinisme atau ejekan di kalangan Majelis (Parhalado) lokal: ai sasintongna hami do na ingkon mamareso hamu (sebenarnya kamilah yang harus memeriksa Anda). Mengapa? Karena jemaat atau resort tidak pernah dibantu pusat soal keuangan, lantas apakah dasar legitimasinya untuk memeriksa? Sebaliknya, uang pusat justru berasal dari jemaat, dan logikanya jemaat-lah yang harus memeriksa pusat (menerima laporan dari pusat).


Bukti ampuh desentrasi jemaat-jemaat HKBP ini nampak jelas ketika terjadi konflik HKBP yang terakhir. Walaupun Kantor Pusat lumpuh namun 3000-an gereja atau jemaat HKBP yang tersebar di seluruh Indonesia justru tetap eksis dan melangsungkan ibadah dan kegiatannya! Itu merupakan bukti yang sangat kuat bahwa sebenarnya HKBP sebenarnya tidak memiliki satu pusat (sentralistis) namun banyak pusat (desentralistis). Kekuatan HKBP tidaklah di Kantor Pearaja namun tersebar di seluruh jemaat dan ressort. Selanjutnya kita melihat dalam pengalaman konflik yang terjadi di jemaat-jemaat lokal hanya dapat diselesaikan di dan oleh jemaat yang bersangkutan, dan justru jarang berhasil dengan intervensi Kantor Pusat. Dan menarik untuk diamati bahwa penyelesaian konflik di jemaat lokal cenderung dengan pola membelah atau memecah.





Pola desentralisasi (manjae, manosor, mamulik) ini juga nampak dalam perhimpunan-perhimpunan kekerabatan Batak. Tiap-tiap punguan marga (bahkan cabang marga atau par-saompu-on) atau parsahutaon merupakan perhimpunan independen dan otonom. Punguan-punguan ini benar-benar mandiri dan tidak memiliki ikatan satu sama lain kecuali nilai-nilai kebatakan (habatahon) dan kekristenan (hakristenon) yang sama. Karena itu kita dapat menyaksikan banyak usaha untuk mempersatukan semua marga dan komunitas ini dalam suatu kelembagaan mengalami kegagalan. Begitu juga usaha untuk melakukan pembakuan atau formalisasi adat yang berlaku bagi semua marga atau komunitas Batak mengalami nasib yang sama. Mengapa? Karena budaya Batak pada hakikatnya memang melawan tiap usaha sentralisasi, akumulasi atau penyeragaman.



Sebagaimana sudah disinggung di atas masyarakat dan budaya Batak tidak memiliki satu pusat kekuasan yang dapat mengendalikan segala-galanya. Tiap marga, luat, kampung, huta, punguan adalah otonom. Dalam adat pun tidak ada yang baku dan berlaku bagi semua. Tidak ada aturan yang berlaku di semua tempat dan waktu. Aturan sangat tergantung kondisi setempat atau sesaat dan kesepakatan pihak-pihak yang terlibat. Sebab itu setiap kali aturan harus diteguhkan kembali melalui perundungan dan kesepakatan yang baru. Itu artinya banyak atau semua hal mesti dinegosiasikan atau dirundingkan bersama. Dengan kata lain budaya Batak dibangun di atas proses negosiasi atau perundingan yang terus-menerus ini. Kita saksikan orang Batak justru sangat menghargai budaya berunding dan bersidang (manghatai) ini. Tiap lembaga atau kelompok yang bekerja di tengah-tengah masyarakat Batak termasuk HKBP harus mengetahui persis budaya negosiasi ini jika ingin berhasil. Dalam kehidupan ber-gereja pun pendeta atau majelis tidak dapat begitu saja memaksakan programnya tanpa melalui rapat atau percakapan bersama. Karena itu kita lihat banyak program gereja atau lembaga adat yang gagal karena tidak lebih dulu dibicarakan bersama dengan pihak-pihak yang terlibat. Ingkon jolo diseat hata asa diseat raut!


Otonomi dan independensi unit-unit ini merupakan kekuatan HKBP yang luar biasa untuk survive di tengah-tengah krisis dan untuk melangkah ke masa depan. Inilah yang membuat HKBP dan bangsa Batak sulit ditaklukkan atau didikte pihak-pihak luar. Tidak ada satu orang elit atau kelompok pun yang bisa menguasai HKBP dan atau orang Batak secara keseluruhan!





2. PARTISIPASI (PARSIDOHOTON, PARJAMBARAN & PARTOHONAN)

Selanjutnya kita melihat bahwa budaya Batak sangat menjunjung tinggi partisipasi. Dalam acara adat semua orang dihargai sebagai peserta penuh (parsidohot), bahkan sebagai raja-raja dan pemegang jabatan (partohonan), memiliki hak dan kewajiban atau tohonan, pemilik hak dan bagian (parjambar: hata, juhut, ulaon). Sebab itu mereka sangat senang dan menikmati upacara itu walaupun memakan waktu berjam-jam dan biaya banyak. Menurut penulis kata kunci dalam budaya Batak adalah: parsidohot (peserta, partisipan), partohonan (pemegang jabatan) dan parjambar (penerima hak atau bagian). Dimana orang Batak menghayati dirinya sebagai parsidohot, partohonan dan parjambar maka dia akan melakukan tugas dan tanggungjawabnya sebaik-baiknya dan rela berkorban sebesar-besarnya untuk itu. Sebaliknya orang Batak akan merasa kecil hati atau bahkan tersinggung jika hanya disuruh menonton, mendengar atau menerima secara pasip.





Bagaimanakah jika hal ini kita hubungkan dengan HKBP? Keadaan sangat berbeda. Coba kita lihat liturgi gereja-gereja kita: Peran dan posisi utama dipegang oleh segelintir parhalado (seumur hidup) dan lebih kecil lagi oleh seorang pendeta. Anggota HKBP yang adalah 99% persen Batak (lahir batin) ini praktis hanya diundang sebagai penonton dan pendengar, paling maksimal diberikan peran pembantu. Sebab itu wajar jika bawah sadar jiwa mereka berontak. Akibatnya ada dua: Pertama mereka akan malas ke gereja dan mencari kelompok-kelompok keagamaan dimana mereka benar-benar sebagai parsidohot, partohonan dan parjambar (bukan kebetulan jika di gerakan kharismatik pentolannya banyak sekali orang Batak) atau berusaha membuat ulah di gerejanya sendiri mencari posisi. Kita dapat mengambil contoh yang sangat sederhana. Warga jemaat yang kebetulan memiliki peran dan kedudukan di HKBP (dirigen, ketua panitia pembangunan, ketua punguan ina/ ama) cenderung bertahan dan tidak mau meninggalkan HKBP bagaimanapun sulitnya keadaan. Sebaliknya warga jemaat yang tidak memiliki peran dan kedudukan di HKBP sangat mudah meninggalkan HKBP. Karena itu menurut penulis banyaknya warga HKBP yang “lari” dari HKBP dan aktiv di gereja-gereja dan persekutuan-persekutuan lain harus dimengerti dalam konteks budaya ini. Mereka ingin memiliki peran dan kedudukan dalam gerejanya, dan tidak suka jika hanya jadi penonton.





Sebab itu menurut saya kita harus mengubah liturgi HKBP agar lebih partisipatip. Sebab dalam budaya Batak sangat sulit diterima (entah apapun alasannya) ada satu orang yang berbicara terus-menerus dan semua yang lain harus diam dan mendengar. Yang ideal semua orang harus memiliki peran (ulaon) dan bagian (jambar). Karena itu kita harus menyusun rangkaian tata ibadah atau liturgi yang sangat partisipatip dan mengundang keterlibatan penuh anggota jemaat. Salah satu contohnya adalah menambah jumlah dan selalu merotasi orang (pelayan dan anggota) yang bertugas dalam ibadah, dan menghindari dominasi oleh satu atau beberapa orang saja. Contoh: Selama ini pemimpin liturgi (mar-agenda) di HKBP adalah satu orang sintua (pada saat tertentu pendeta). Karena faktor-faktor khusus (antara lain penghormatan) pemimpin liturgi pada saat pesta Natal atau Paskah selalu diberikan kepada sintua tertentu (terbaik, terkaya, terpintar, terkuat dll). Akibatnya sering terjadi selama puluhan tahun menjadi parhalado seorang sintua tidak pernah sama sekali memimpin ibadah natal atau paskah. Padahal di bawah sadar para penatua yang lain umumnya ingin juga berperan dalam ibadah natal dan paskah itu. Karena itu menurut penulis ibadah HKBP baik jika dilayani oleh tiga atau lima orang penatua sekaligus. Selain memberikan kesempatan berpartisipasi kepada sebanyak-banyaknya orang, ibadah yang dilayani oleh banyak orang ini mencerminkan representasi atau kehadiran seluruh jemaat. Sebab dalam even Batak yang sangat menekankan kebersamaan, seseorang berpidato sendirian di depan publik dapat menimbulkan kesan arogan. Karena itu dia harus selalu mengajak sanak-saudaranya menemaninya.


Ritus Batak tidak berpusat kepada satu orang tokoh namun kepada persekutuan. Orientasi atau sentrum ruang Batak adalah pelataran luas (alaman) rakyat dan bukan panggung kecil elit. Sebab itu dalam even budaya Batak semua orang selalu duduk berkeliling (mangaliat) dan berhadap-hadapan (masiadopan). Pusat ruang pesta pernikahan Batak bukanlah panggung kursi pengantin di depan, namun meja para perunding (parhata) di tengah-tengah. Tari (tortor) Batak dilakukan di tengah-tengah ruangan dan bukan di depan. Sebab itu sewaktu menari (manortor) orang Batak lebih dulu menyembah berputar 360 derajad dan bergerak berkeliling (mangaliat). Itu adalah simbol orientasi ritus yang menunjukkan kebersamaan dan persekutuan.


Hal ini menyadarkan kita bahwa arsitektur gereja HKBP secara umum kurang mengakomodasi tuntutan budaya Batak ini. Sebagai contoh susunan kursi gereja yang searah (model bioskop, teater) harus diubah menjadi model persidangan (huruf U, melingkar atau berhadap-hadapan) agar lebih partisipatip dan melibatkan sehingga anggota jemaat tidak merasa sekedar penonton atau pendengar pasip. Dalam membangun gedung gereja HKBP yang penting bukanlah meniru bentuk luar rumah Batak, atau sekedar memberi tempelan asesoris bernuansa Batak, namun bagaimana mewujudkan tata ruang yang sesuai dengan jiwa Batak yang sangat menjunjung partisipasi, kebersamaan dan persekutuan itu.





3. KESETARAAN ATAU EGALITER (HADOSAN)

Selanjutnya kita tahu masyarakat Batak sangat egaliter atau menekankan kesetaraan. Dengan masuknya kekristenan yang menghabisi perhambaan, praktis semua orang Batak laki-laki merasa dirinya sebagai raja dan keturunan raja. Menarik juga bahwa seluruh elemen kekerabatan Batak yang lazim disebut dalihan na tolu (dongan sabutuha, boru dan hula-hula) dan paopat sihal-sihal (ale-ale) selalu disebut dengan kata sandang Raja. Perempuan Batak dipanggil sebagai boru ni raja (puteri raja) atau sebutan terhormat inanta soripada (walaupun kiita harus mengkritisi sejauhmana penghormatan kepada perempuan ini dalam praktek). Yang hendak kita katakan adalah sistem dalihan na tolu ini terus-menerus mendorong sirkulasi peran dan jabatan. Tidak mungkin seseorang terus-menerus menjadi hula-hula atau menduduki tempat terhormat. Peran dan jabatan selalu berganti, tergantung tempat dan situasi. Sirkulasi peran dan jabatan yang terus-menerus ini semakin mengekalkan perasaan egalitarianisme atau kesetaraan (hadosan) dalam masyarakat Batak. Memang diakui, karena kekayaannya atau ketuaannya seorang boru sangat dihormati, namun bagaimanapun juga ia tetap dalam posisi yang harus menghormat hula-hula-nya.


Apa hubungannya dengan gereja? Sistem gereja HKBP yang memungkinkan seseorang seumur hidup berperan atau menjabat parhalado (majelis) sebenarnya ganjil atau kurang memiliki legitimasi dalam budaya Batak. Masyarakat egaliter Batak menghayati sirkulasi peran dan jabatan. Hari ini hula-hula besok boru lusa dongan sabutuha, begitulah silih-berganti. Peran dan jabatan lain dalam budaya Batak juga selalu berganti. Sihunti ampang dan sijalo upa tulang juga selalu berganti di kalangan yang bersaudara. Namun dalam haparhaladoon HKBP justru prinsip sirkulasi peran dan jabatan itu tidak terjadi. Karena itu, menurut saya, salah satu bentuk terpenting demokratisasi atau “kontekstualisasi Batak” dalam HKBP adalah pemberlakukan periodesasi parhalado. Dengan periodesasi parhalado kita dapat mengakomodasi tuntutan-tuntutan yang sangat penting dalam budaya Batak (dan sekaligus organisasi moderen), yaitu: sirkulasi peran dan jabatan, mekanisme check and ballance, reward and punishment, prinsip kesetaraan di depan hukum, keadilan dan kompetisi adil dan bebas.


Dari segi arsitektur, angota jemaat HKBP di bawah sadar akan sulit menerima kenyataan ada sekelompok orang (baca: parhalado) jaman sekarang yang seumur hidup duduk di balkon atau di kursi terhormat dalam gereja. (dulu di Tanah Batak parhalado tidak punya tempat duduk, berdiri berdiri di pintu!). Apalagi jika lantai tempat duduk parhalado dibuat jauh lebih tinggi dari lantai tempat duduk jemaat. Mimbar kotbah yang lebih rendah dan kotbah yang pendek justru akan mengundang simpati anggota jemaat yang berbudaya Batak. Karena itu penulis mengusulkan agar di masa depan kita menata ruang yang mendukung prinisip kesetaraan (hadosan) ini. Mungkin susunan kursi setengah melingkar, altar di tengah, mimbar kotbah yang rendah adalah jawabannya.


Tuntutan anggota jemaat untuk berpartisipasi dan memiliki kedudukan yang sama dalam HKBP ini tidak hanya dalam ibadah Minggu atau khusus, namun dalam seluruh kehidupan berjemaat HKBP, termasuk proses pengambilan keputusan. Sebab itu jika kita ingin anggota jemaat itu betah di HKBP maka tak bisa tidak kita harus memberikan kepada mereka peran dan kedudukan ini, termasuk dalam rapat-rapat pengambilan keputusan. Salah satu yang mungkin dapat kita lakukan sebelum periodesasi sintua, adalah dengan melakukan periodesasi semua unit pelayanan HKBP termasuk guru Sekolah Minggu, pelatih dan dirijen koor dan lain-lain. Selain itu menurut penulis HKBP baik jika mengangkat utusan resmi anggota jemaat (pengurus atau perwakilan weik-weik) menjadi majelis yang tidak ditahbiskan (parhalado na so partohonan).





3. TRANSPARANSI (HAPATARAN)

Lama sekali saya baru dapat bersimpati dan memahami apakah makna lelang dalam gereja-gereja batak. Bagi saya dahulu mengumpulkan uang bagi gereja dengan lelang (lebih halus mengumumkan nama penyumbang secara terang-terangan) adalah bentuk arogansi Batak yang jauh dari kekristenan. Namun setelah lama mengadakan refleksi saya baru sadar bahwa lelang terbuka dalam gereja itu hanyalah salah satu ungkapan keterus-terangan Batak. Tedek songon indahan di balanga do Batak i. (Memang diakui dalam lelang juga sarat dengan unsur kompetisi yang juga sangat dihayati kultur Batak). Sementara itu gereja-gereja Batak justru seringkali dikelola dengan semangat yang berbeda dengan keterus-terangan atau transparansi ini. Rapat-rapat parhalado atau rapat pendeta sering merupakan “rapat rahasia”. Isu-isu teologia (kadang tidak bisa dijawab oleh kami pendeta) disembunyikan dengan alasan bahwa hal itu merupakan misteri Ilahi (hahomion). Laporan keuangan sering cuma mencantumkan pemasukan dan tidak (cukup) menjelaskan pengeluaran. Mekanisme pemilihan anggota komisi, panitia, dewan dan seksi sering tidak transparan sehingga memungkinkan sekali terjadinya nepotisme. Bagi masyarakat Batak di bawah sadarnya ketertutupan itu bukan saja sesuatu hal yang tidak simpatik namun juga mengundang rasa curiga terhadap adanya usaha kolusi (partuptupan) atau bisik-bisik atau main-mata (marmihim-mihim). Bukankah kata “tangkas”,“patar”, “tarida” (jelas, nyata) sangat bermakna positip dalam budaya kita dan juga iman kristiani dan era moderen? Sementara kata “buni” (tersembunyi), “semo” (kabur), “huphup” (tertutup) berkonotasi negatip?



Budaya transaparansi (hapataran) ini justru sangat sesuai dengan iman kristiani. Selanjutnya transparansi itu juga menjadi tuntutan masyarakat moderen. Karena itu dengan membangun HKBP dengan semangat transparansi (hapataran) kita sangat kristiani dan moderen.



4. KOMPETISI (MARSIADU, MARLUMBA)

Selanjutnya, sebagaimana kita tahu budaya Batak sangat dekat dengan kompetisi atau persaingan (yang harus diakui sebagian mengarah kepada konflik). Orang Batak di bawah sadarnya menghayati kehidupan bagaikan perlombaan atau pertandingan, dan dia menginginkan kemenangan (kadang dengan menempuh segala cara). Sikap hidup teal, elat, late bila dilihat lebih positip adalah bentuk kompetisi atau persaingan yang tidak benar. Namun pada saat yang sama gereja-gereja kita gagal atau mengabaikan kultur kompetisi ini. Sebagian dikarenakan pengaruh budaya harmoni Orde Baru dan sebagian karena salah menafsirkan konsepsi kebersamaan dan persatuan dalam Alkitab yang membuat seakan-akan kompetisi itu sesuatu yang kurang kristiani atau menjurus kepada dosa. Karena gereja – termasuk dalam kotbah pendeta-pendeta – hampir tidak pernah mengajarkan warganya untuk rela dan trampil berkompetisi akibatnya warga gereja kita menganggap kompetisi sebagai konflik atau sikap hidup menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan.





Jika kita tahu bahwa semangat kompetisi itu mempunyai tempat dalam iman Kristen, sejalan dengan era moderen yang menghendaki persaiangan bebas, dan meningkatkan “adrenalin” orang Batak, maka tugas gereja tinggal mengajarkan warganya bagaimana harus berkompetisi secara benar atau kristiani, berkompetisi secara adil dan damai, dan berkompetisi dalam semangat persaudaraan (seperti semangat ateletik dalam olimpiade: lebih tinggi, lebih cepat, lebih jauh!) untuk mengejar kemajuan dan kualitas.



PERTANYAAN DISKUSI

1. Hal-hal apa sajakah yang harus diubah dan dibaharui oleh HKBP untuk membantu masyarakat Batak (yang sedang menjadi Indonesia dan global-moderen) itu menghayati iman Kristennya? Secara khusus hal-hala apa saja yang harus diubah dalam HKBP agar membantu masyarakat Batak yang miskin?

2. Adakah budaya Batak yang dikembangkan sekarang cukup kondusif bagi kehidupan demokrasi? Bisakah dijelaskan? Adakah “pengalaman demokrasi” Batak yang sempat hilang dan harus ditemukan lagi, tentang bius sebagai persekutuan antar marga/kampung misalnya? Bagaimanakah pengaruh depolitisasi budaya dan masyarakat Batak selama 30 tahun terakhir?

3. Jika direnungkan dalam-dalam manakah yang lebih benar: desintegrasi dalam budaya Batak telah memacu konflik dalam gereja-gereja atau sebaliknya konflik gereja telah mengakibatkan desintegrasi budaya Batak?

(disusun pertama kali untuk persiapan Pesta Gondang HKBP Jatiwaringin tahun 2001)

3 komentar:

Elisa Lumbantoruan mengatakan...

Horas,

Saya suka dengan tulisa ini. Mohon izin untuk saya post di blog Sihombing Lumbantoruan http://sihombing.lumbantoruan.net.

Mauliate

Anonim mengatakan...

Hello. This post is likeable, and your blog is very interesting, congratulations :-). I will add in my blogroll =). If possible gives a last there on my blog, it is about the Massagem, I hope you enjoy. The address is http://massagem-brasil.blogspot.com. A hug.

F4 TOBING mengatakan...

Saya tertarik dengan tulisan ini, dengan ini kita dapat mengkontekstualisasikan adat batak dengan Injil. Melalui adat batak kita dapat mentransformasikan injil di tengah-tengah orang batak dengan mudah. Ijinkan saya memposting ini dalam blog saya!